:: Muhammad Arief Al-Fikri :: |
Citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri, siswa SMAN 1, merasa terkesan dengan kisah seorang tukang becak cilik yang ditemuinya di Tamalanrea. Ia membagi wawancara singkatnya dengan Marikar, tukang becak cilik yang ditemuinya pekan lalu. Tidak seperti halnya pekerja anak yang sering dikabarkan dipaksa bekerja, Marikar mengaku mengayuh becak atas inisiatif sendiri, tanpa paksaan orangtua, dan dilakukannya di sela waktu bermain dengan teman sebayanya. (p!) |
Tukang becak cilik itu bernama Marikar. Ia duduk di kelas 3 sekolah dasar. Penampilannya tampak lusuh. Sehari-hari ia dapat ditemui di Jalan Perintis Kemerdekaan 6, Tamalanrea. Sehari-hari, saya sudah sering melihat tukang becak cilik sepertinya, tapi hanya sepintas. Inilah pertama kalinya saya mengenal lebih dekat seorang di antaranya. Bapaknya tukang becak, jadi kadang ia pun membantu mencari penumpang. Bila sang ayah istirahat, Marikar yang mengambil inisiatif memanfaat becak yang “nganggur “ itu. Waktu yang paling sering dimanfaatkannya untuk bekerja adalah sepulang sekolah, sekitar sore hari. Dengan badannya yang kecil dan kaki yang belum mantap menginjak sadel untuk mengayuh, Marikar mengaku hanya bisa memperoleh sekitar Rp8.000 per hari dari jerih payahnya mengantar penumpang. Penghasilan bapaknya, tentu bisa lima hingga enam kali lipat dari uang yang dihasilkan Marikar, namun dengan hasil yang kecil itu pun ia mengaku sudah senang. “Kalau jalannya naik (menanjak –ed), saya belum bisa mengayuh, jadi becaknya harus didorong. Tapi kalau jalannya rata atau menurun, bisa ji” tuturnya. Apakah Marikar dipaksa oleh orangtuanya bekerja sebagai tukang becak? Dari cerita yang diungkapkannya, ia dengan polosnya mengaku pekerjaan itu dilakukannya atas kehendak sendiri. Tujuannya untuk menambah penghasilan keluarga, dan alasan itu tadi: “Daripada becak bapak menganggur, lebih baik saya pakai cari lurang (penumpang).” Bagi Marikar, keahlian mengayuh becak dipelajarinya secara alamiah, dengan memerhatikan cara bapaknya mengayuh kendaraan tiga roda itu. Sebagai tukang becak cilik, ia mengatakan hanya melayani jarak pendek, semisal dari ujung jalan Perintis Kemerdekaan menuju ke jalan kecil atau gang di sekitar Jalan Perintis Kemerdekaan 6. Tawar menawar harga pun dipelajarinya dengan memerhatikan bagaimana bapaknya menetapkan harga tertentu untuk melayani jarak pendek. “Tapi ya itu, kalau saya yang bawa ini becak, pasti capek sekali rasanya kalau harus lama-lama, karena masih kecil.” Seperti anak seusianya, Marikar juga sangat senang bermain. Sepulang dari sekolahnya, SD Kampus Unhas 1, ia juga memanfaatkan sebagian waktunya bermain dengan sahabatnya, selain mengayuh becak. Hari itu, saat saya menemuinya, ia asyik bermain dengan Ade dan Wahyu. Dari kedua sahabatnya inilah saya mengetahui bahwa Marikar pernah tinggal kelas saat duduk di kelas satu. Alasannya? Kali ini Marikar yang menjawab sendiri, “Waktu itu, saya nakal sekali, jadi tidak naik kelas. Tapi sekarang, saya sudah rajin mi...” Ia memang kini sudah berubah menjadi anak yang gemar belajar. Marikar dan dua sahabatnya ini juga menimba ilmu di sebuah sekolah alternatif yang didirikan di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan 6, yang bernama “Unlimited School”. Sekolah alternatif ini didirikan sejumlah relawan yang memberikan pendidikan gratis dengan metode belajar yang berbeda dari sekolah umumnya. Di sekolah alternatif itu misalnya, ia belajar bahasa Inggris dan mengaku sangat senang dengan pelajaran menggambar. Marikar bercerita bahwa kebutuhan keluarganya dipenuhi oleh ayahnya yang bekerja sebagai tukang becak dan ibunya yang bekerja sebagai penyanyi orkes, yang biasa menjajakan suaranya di pesta perkawinan. “Kalau saya, ya bantu-bantu ji goyang becak, kalau bapak istirahat,” katanya. Barangkali karena sudah belajar sejak kecil betapa sulitnya mencari nafkah, Marikar yang lugu itu, terkesan seperti orang dewasa ketika mengomentari kondisi kehidupan sehari-hari. Ia misalnya secara spontan berkata, “Sekarang, sudah mahal harga kue. Dulu, saya bisa beli kue seharga tiga ratus rupiah , eh sekarang harganya sudah jadi lima ratus. Mahal ya..” “Jadi sudah jarang makan kue?” tanyaku. Lagi-lagi ia menjawab dengan polos bahwa bila ibunya yang beli kue tentu akan dimakannya. Tapi kalau ia sendiri yang harus beli, harus pikir-pikir dulu, karena harganya yang sudah terasa mahal itu. (p!) *Citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id sumber : http://panyingkul.com |
小结
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar