:: M. Arief Al-Fikrie :: |
Citizen reporter M. Arief Al-Fikrie mengaku sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk pasar tradisional karena tempat tinggalnya memang dekat dari Pasar Terong, Makassar. Di antara begitu banyak cerita tentang kehidupan di pasar itu, ia menemui sejumlah perempuan yang berdagang daun bawang, dan mendengarkan kisah-kisah mereka, meski sekilas. Ia menangkap kesan, pedagang ini adalah para perempuan perkasa, namun kadang-kadang juga tak lepas dari rasa jenuh.(p!) |
Saya dibesarkan di lingkungan pasar tempat keluarga saya bermukim selama hampir 20 tahun. Tepatnya di Jalan Mentimun, sekitar Pasar Terong, Makassar. Sejak kecil, saya sudah terbiasa dengan suasana pasar; rutinitas penjual dan pembeli, puluhan tenda dan seng yang menaungi tempat-tempat jualan, hiruk-pikuk pasar, juga sampah-sampah yang berserakan. Saya juga kerap melihat ibu-ibu dan remaja puteri beradu keringat berdagang di pasar itu. Suara-suara kaum perempuan ini sudah akan terdengar sejak pagi buta, yakni pukul 3 dini hari. Mereka meramaikan kawasan pasar dengan aktivitasnya masing-masing. Mereka hanya perempaun sederhana, tidak banyak bersolek, seperti para pegawai kantoran. Tampaknya, berjualan di pasar tradisional merupakan alternatif tersendiri bagi mereka, sebab tidak memerlukan ijazah sekolah, meski pekerjaan yang harus dilakukan tidaklah mudah. Seorang di antaranya, Hj. Leda, berjualan daun bawang tepat di samping basement pasar. Ia datang ke pasar di pagi buta, naik pete-pete dari rumahnya di Jalan Sukaria 11, kurang lebih 4 km dari Pasar Terong. Ini adalah pete-pete khusus yang mengangkut para pedagang yang tinggal di Jalan Sukaria, Jalan AP Pettarani dan sekitarnya, menuju Pasar Terong. Sewaktu kecil, saya pun sering ikut pete-pete yang mengangkut para perempuan ke tempatnya bertarung mencari nafkah. Saban hari, Hj. Leda terlihat sibuk mengupas, menimbang, dan mengikat daun bawang sebelum dijual. Jumlahnya bisa mencapai 50 kg, atau paling sedikit 30 kg. Hal serupa juga dilakukan Hj. Ajo. Tapi Hj. Ajo sanggup menyiapkan daun bawang hingga 90 kg perhari. Padahal ia memiliki seorang balita dan suami yang harus diurus. Makanya, Hj. Ajo biasanya datang ke pasar lebih awal, yakni pukul 3.30 dini hari. Sebelum berjualan, terlebih dahulu dia mengambil barang dagangan ke teman seprofesinya. Sebelum berjualan daun bawang, kedua perempuan ini memiliki usaha masing-masing. Hj. Leda membuka usaha jahitan di rumahnya, sedangkan Hj. Ajo berprofesi sebagai penyedia berbagai macam minuman, seperti teh, kopi, susu, kopi susu, dan sebagainya di pasar yang sama. Namun, sejak tahun 1998, usaha keduanya gulung tikar. Mereka banting setir setelah ada pedagang dari Malino yang menawarkan kerja sama berdagang daun bawang. Kebetulan waktu itu tersedia lahan di Pasar Terong yang tak terpakai, yang dimiliki oleh adik Hj. Leda. Adik Hj. Leda ini adalah ibu kandung saya. Pekerjaan mereka sekarang lebih menjamin dibanding usaha sebelumnya. Harga daun bawang berkisar antara Rp2000 hingga Rp2.500 per kilogram. Dengan modal Rp1.000 per kilogramnya, Hj. Leda bisa untung hingga Rp70.000 perhari jika berhasil menjual sekitar 50 kg daun bawang. Keuntungan lebih besar bisa diraih Hj. Ajo, sampai Rp13.5000 perhari kalau bisa menjual 90 kg. Lain lagi kisah Daeng Mantang dan Daeng Marawang yang merupakan ”pegawai bawang” (sebutan oleh majikannya). Setiap hari mereka bekerja sebagai pengupas dan penggoreng bawang merah untuk seorang pedagang bawang dan rempah-rempah. Daeng Mantang yang mulai beraksi pukul 7.30 pagi, biasanya menggoreng bawang merah sebanyak 16 kg per hari. Sedang Daeng Marawang masih sanggup mengupas 5 hingga 6 kg bawang merah dengan upah Rp200 per kg, meski usianya sudah 70 tahun. Selain berkiprah di ranah publik para perempuan tangguh tersebut juga tidak luput dari tugasnya setiap hari di ranah domestik. Hj. Leda misalnya, sepulang dari pasar masih bercucur keringat kembali mengurusi pakaian kotor dan kebersihan rumahnya. Begitu juga dengan Hj. Ajo, yang setelah menikah dan mempunyai seorang anak, peran yang mesti dijankannya semakin bertambah. Masih ada puluhan perempuan perkasa lainnya di Pasar Terong, baik muda maupun tua. Ada yang menjual nasi kuning, kue, telur, keripik, minyak tanah, bahkan ada yang bekerja sebagai tukang sampah. Meskipun sibuk di pasar, mereka tidak mengesampingkan tugas sebagai ibu rumah tangga (bagi yang telah menikah). Mengeluhkah mereka? Kadang-kadang. “Saya sempat berpikir, lebih baik pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah keponakan yang sudah jadi dokter untuk bantu-bantu memasak, membersihkan rumah, atau mencuci pakaian,” tutur Hj. Leda. Wanita lajang ini mengaku bosan melihat tingkah laku keponakan yang tinggal di rumahnya, karena mereka sering malas membantu pekerjaan rumah. Belum lagi bila tiga orang keponakannya itu menuntut uang jajan. “Kalau marah, saya biasa menyuruh mereka pulang saja ke bapaknya di Bulukumba,” tutur Hj. Leda.(p!) *Citizen reporter M. Arief Al-Fikrie dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id sumber : http://panyingkul.com |
小结
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar