Budi yang Mendamba Toleransi Agama :: Budi Parabang :: |
|
Nama saya Budi Parabang, tapi teman-teman sering memanggil saya dengan sebutan Gendu’. Mungkin karena bentuk tubuh saya yang tergolong gendut. Saya adalah bungsu dari 3 bersaudara. Umur saya 16 tahun dan saat ini sedang menuntut ilmu di SMA Negeri 1 Makassar atau yang lebih dikenal dengan Smansa. Setelah berjuang selama setahun akhirnya saya bisa duduk di kelas IPA, tepatnya di kelas XI IPA 4. Saya adalah salah seorang penganut agama Kristen Advent, salah satu agama yang terdengar asing bagi teman-teman saya. Memang populasi kami di Indonesia tergolong sedikit, hanya sekitar 500 jiwa.. Tapi Kristen Advent bukanlah agama lokal melainkan universal atau mendunia. Dalam Advent, banyak ajaran yang mungkin sedikit berbeda dengan agama Kristen yang lain, namun sebenarnya kami memiliki Alkitab yang sama. Yang membedakan adalah penafsirannya. Advent memiliki banyak larangan, seperti: merokok, minum minuman beralkohol, makan makanan haram(seperti anjing,babi dan sebagainya). Selain itu ada pula hal-hal yang dianjurkan seperti menjadi vegetarian, tidak memakai anting-anting bagi perempuan, serta tidak minum teh dan kopi, sebab berdasarkan hasil riset, dalam kopi terdapat kafein dan di dalam teh terdapat nikotin yang dapat membahayakan tubuh. Para pemuka agama kami selalu menyeru-nyerukan akan hal ini sebab dalam kitab tertulis: “Tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu,maka muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”. Atas dasar itulah kami disarankan untuk merawat tubuh dari apapun yang dapat merusaknya. Tapi semuanya itu seolah-olah bukan lagi menjadi beban malah menjadi kebiasaan jika dijalankan dengan sungguh-sungguh. Mungkin sebagian orang akan berpikir betapa susahnya menjalani kehidupan seperti itu, tapi sebenarnya bagi saya pribadi itu bukan hal sulit, karena sejak kecil kami sudah terdidik dengan ajaran seperti itu. Satu hal lagi yang menjadi ciri atau identitas Kristen Advent, yaitu kami beribadah pada hari Sabtu (ber-sabat), bukan hari minggu layaknya Kristen lain. Hari kebaktian kami dikenal dengan Sabat. Sabat terhitung mulai dari matahari tenggelam di hari Jumat sampai pada matahari tenggelam di hari Sabtu. Satu hari itu dikhususkan untuk Tuhan, tiada aktivitas lain kecuali yang berbau rohani. Jadi jika hari Sabat tiba, kami tidak dibenarkan untuk berbelanja, belajar (kecuali belajar dari alkitab), menonton, bahkan memasak. Makanya sebelum Sabat datang, keluarga kami selalu memasak makanan dalam porsi lebih. Sungguh sebuah pemandangan yang cukup kontras dibandingkan dengan teman-teman lain yang setiap hari Sabtu pergi ke sekolah, bukannya ke tempat ibadah. Di Smansa sendiri,penganut agama Kristen Advent cuma 2 orang yang tidak lain saya dan kakak saya, Heri. Kakak saya sekarang duduk di bangku kelas XII dan sedang mempersiapkan diri menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Tapi sebetulnya sudah banyak alumni Smansa yang beragama Advent. Sebelum menginjakkan kaki di Smansa, Heri sudah sangat sering bercerita kepada saya tentang keadaan di sekolah itu. Dan sebelum memutuskan mendaftar di Smansa, Heri berkata,“Tidak gampang untuk tetap eksis di Smansa dengan keadaan kita yang seperti ini, dibutuhkan kesabaran dan semangat yang tinggi dan semua keputusan ada di tanganmu. Kamu yang mengambil keputusan artinya kamu harus siap menghadapi segala konsekuensinya.” Dan omongan kakak saya benar-benar saya rasakan sekarang. Saat memasuki bangku kelas X SMU, saya ditempatkan di kelas X-7. Sempat ada kesulitan memberitahu teman-teman tentang keadaan saya yang tidak bisa masuk sekolah setiap hari Sabtu karena harus mengikuti kebaktian di gereja. Awalnya ada beberapa dari mereka memandang sebelah mata keberadaan saya, bahkan tak jarang cerita miring yang mengatakan saya beragama aneh, fanatik, malah ada yang bilang: “Enaknya tidak belajar tiap hari Sabtu”, dan masih banyak lagi. Suatu kali seorang pembimbing bertanya, “Memang sama sekali tidak boleh ke sekolah kah?” Lantas saya menjawab, “Ibadah itu bukan satu hal yang bisa ditunda-tunda Bu.” Selang satu setengah bulan belajar, saya merasa teman-teman mulai menerima keberadaan saya, malah mereka selalu mendukung saya. Misalnya saja untuk pelajaran di hari Sabtu yang tidak saya ikuti, mereka dengan senang hati mau meminjamkan catatan, bahkan mengajari sampai mengerti. Di situlah saya merasa bahwa biarpun kami adalah kaum minoritas bukan berarti kami disisihkan oleh teman-teman. Tapi salah seorang teman kelas di kelas X-7 pernah berkomentar, “Setengah matimu itu tidak masuk kelas setiap hari Sabtu, apalagi kalau ada ulangan! Daripada susah-susah, lebih baik kamu pindah agama. Daripada banyak angka merahmu! Bagaimana?” Namun menurut saya, toleransi tampaknya tak berlaku rata bagi setiap guru. Saya tidak tahu mengapa mereka seolah menutup mata. Dalam lingkungan sekolah, saya merasa kejelasan yang diberikan belum pasti sehingga membuat saya bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya, tidak tahu harus berbuat apa. Atas dasar itu saya dan ayah mengurus surat izin dari pihak gereja untuk diberikan kepada Kepala Sekolah dan guru-guru yang mengajar di hari Sabtu. Saat memberikan surat itu kepada Drs Herman Hading Mpd, kepala sekolah saya, ia berkomentar: “Saya pribadi mengizinkan tapi kamu harus bicara dengan guru-gurumu. Juga usahakan tugasmu masuk terus! Soal kehadiran, negosiasikan dengan guru-guru bidang studimu.” Lantas saya pun menghubungi guru-guru saya satu persatu. Namun yang saya dapatkan dari mereka hanya komentar yang tidak jelas arahnya. Saya sungguh merasa stres saat itu apalagi ada mata pelajaran yang cuma ada di hari Sabtu, seperti Sejarah dan Kesenian. Akhirnya saya memutuskan melupakan itu semua dan membuat kebijakan sendiri dalam artian tidak memikirkan pelajaran di hari Sabtu. Dan bisa ditebak apa yang terjadi, pada saat pembagian rapor di akhir semester 1, ada 2 mata pelajaran yang mendapat nilai merah. Ayah saya marah besar saat itu. Guru-guru saya memang mengizinkan saya beribadah tapi tidak memberikan solusi yang baik untuk nilai-nilai saya. Contohnya saja, saya pernah disuruh guru kesenian untuk memperbaiki nilai-nilai saya yang merah lantaran tugas-tugas saya tidak pernah masuk di hari Sabtu dengan membeli buku yang harganya lebih Rp200.000. Saya tidak tahu buku apa yang bisa semahal itu karena saya hanya disuruh menyetor uang dan guru saya sendiri yang membelinya. Tapi setelah nilai saya keluar di rapor, saya tetap saja mendapat nilai merah tepatnya 27.
Akhirnya di semester 2 saya mencoba memperbaiki kesalahan. Saya mulai menyetor tugas-tugas dan mulai aktif mencari guru saya. Namun sedikit susah menemui guru bidang studi yang mengajar di hari Sabtu untuk meminta tugas-tugas tambahan.Tapi akhirnya saya bisa melewati itu semua dan nilai saya membaik di saat penerimaan rapor di semester 2. Akhirnya saya bisa juga naik ke kelas XI dan masuk ke kelas IPA setelah melewati penjaringan yang ketat. Tapi saya menemukan kendala baru di kelas XI ini. Masih ada seorang guru yang sama sekali tidak mau memberikan sedikit kelonggaran beribadah di hari Sabtu. Begitu mengetahui bahwa saya adalah seorang penganut Kristen Advent, guru itu pun memanggil saya dan berkata: “Jadi setiap hari Sabtu Anda tidak masuk dalam kelas saya? Wah, bagaimana itu? Kalau saya sendiri tidak bisa memberikan izin karena kehadiran Anda nanti akan sangat jauh di bawah standar kehadiran! Ini bukan sekolah agama, ini sekolah umum! Tapi nantilah saya bicarakan lagi dengan kepala sekolah.” Saya pun hanya terdiam mendengar hal itu dan langsung kembali ke tempat duduk. Tapi di tempat duduk saya termenung dan berkata dalam hati: “Saya kira Indonesia adalah negara yang rakyatnya bebas memeluk agama dan beribadah sesuai agama yang dianutnya. Namun sekarang ini saya merasa hal itu tak berlaku terhadap saya. Saya merasa terdiskriminasikan.”Tapi saya terus berdoa di kamar saya agar suatu saat diberikan kelonggaran oleh guru tersebut. Heri kakak saya yang duduk di kelas XII, sekarang sedang mengurus surat izinnya juga dan kami sama-sama berharap bahwa kami bisa terus belajar sambil menjalankan ibadah sesuai agama yang kami anut. Di sekolah ini saya mendapat banyak pelajaran hidup yang tidak pernah saya dapatkan di SD dan SMP dulu.Sewaktu SD, saya bersekolah di SD Advent begitupun SMP, saya bersekolah di SMP Advent yang bernaung di satu yayasan yang sama yaitu Yayasan Pendidikan Advent Durian Makassar. Letaknya juga masih dalam suatu kawasan yang sama. Dulu di sana, setiap Sabtu kami di liburkan. Ya jelaslah! Namanya juga sekolah Advent. Jadi saya dengan leluasa ke gereja dan beribadah bersama keluarga. Hingga saat ini saya berharap guru-guru saya bisa membuat kebijakan yang berpihak pada kami. Kebijakan yang memberikan izin lebih mudah sehingga tidak usah mengurus surat izin tiap semester, bahkan setiap perubahan jadwal pelajaran hari Sabtu serta dapat memberikan solusi yang terbaik bagi nilai-nilai kami. Sehingga saya tidak lagi merasa tersisihkan. Meskipun kami kaum minoritas bukan berarti kami tidak punya hak yang sama layaknya siswa lain. (p!) *Budi Parabang dapat dihubungi melalui email aldi_atarashi@yahoo.com sumber : http://panyingkul.com |
小结
6 tahun yang lalu
Cerita yang cukup menyentuh. Pergumulan batin seorang remaja yang luar biasa. Betapa susahnya jadi anak yang berbudi di zaman sekarang. Tidak perlu heran karena di negeri ini lebih mudah mendirikan bar dan diskotik daripada mendirikan gereja. Ironis memang mengingat negeri ini mengaku negeri yang humanis dan beragama.
BalasHapusPercayalah, airmata umat TUHAN tidak pernah menetes ke bumi tapi menetes ke sorga. Ingat selalu bahwa apa yang dianggap "bodoh" oleh dunia, itu yang dipakai TUHAN untuk mempermalukan dunia!