Minggu, 16 Agustus 2009

Pengakuan Jujur Tentang Buku Amaliyah Ramadhan

:: Muhammad Arief Al-Fikri ::


Antri meminta tanda tangan ustas seusai ceramah salat tarwih.
Foto: Lily Yulianti Farid.


Salah satu pemandangan khas di mesjid selama bulan Ramadhan, adalah para pelajar yang sibuk mencatat ceramah tarwih, kemudian berebut meminta tanda tangan sang ustas, begitu ceramah usai. Mengisi buku Amaliyah Ramadhan mewarnai liburan anak-anak ini. Namun citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri memiliki pandangan lain mengenai kegiatan ini. Ia mencoba kritis dan jujur melihat aktivitas para pelajar mengisi buku Amaliyah Ramadhan. (p!)
Ramadhan datang, liburan tiba. Inilah yang dialami para pelajar. Bagi para pelajar SD dan SMP yang menjalakan puasa, liburan harus diisi dengan mencatat kegiatan selama puasa melalui buku Amaliyah Ramadhan. Ini adalah buku wajib yang dibagikan pihak sekolah sebelum libur Ramadhan. Selain dimaksudkan sebagai jurnal kegiatan harian para siswa selama Ramadhan, buku ini juga sekaligus berfungsi sebagai “mata-mata” guru dalam memantau keseharian murid mereka selama berpuasa.

Sudah merupakan rahasia umum memang, bahwa buku Amaliyah Ramadhan bertujuan agar para pelajar bisa terkontrol beribadah secara rutin, rajin, dan baik selama bulan Ramadhan. Lembar-lembar buku ini berisi tabel daftar kegiatan para pelajar dalam sehari yang diformat dalam susunan kolom-baris; ada kolom waktu yang menyatakan lamanya si pelajar melakukan suatu kegiatan; kolom hari/ tanggal yang menunjukkan nama harinya; kolom jenis kegiatan untuk menuliskan nama kegiatannya; kolom keterangan dan kolom paraf/ tanda tangan pelajar sendiri atau orang tua.

Namun menurut saya, nampaknya cenderung ada kesan memaksa dalam konsep pengisian buku Amaliyah Ramadhan tersebut. Apalagi jika para pelajar sudah diwanti-wanti terlebih dahulu oleh guru mereka, sebelum buku tersebut dibagikan. Ada guru yang dengan tegas berkata, bahwa barang siapa yang tidak mengisi satu halaman saja atau bahkan semuanya, niscaya nilai pelajaran agamanya dikurangi.

“Nilai pelajaran agama” ini yang menjadi momok. Tak ayal, tidak sedikit pelajar yang memanipulasi laporannya di halaman demi halaman buku Amaliyah Ramadhan mereka. Tentu, demi mengejar target nilai yang memuaskan.

Seperti pengalaman saya sendiri. Jujur saja, saya adalah “pengarang handal” dalam mengisi buku Amaliyah Ramadhan. Alasannya, saya tidak mau pusing, malas, merasa terbebani, dan bahkan merasa dizalimi. Sejak SD hingga SMP, setiap menjelang Ramadhan, di sekolah saya selalu dibagikan buku Amaliyah Ramadhan. Namun entah kenapa, saya selalu berkecut hati setiap kali menerima buku ini. Mungkin karena saya merasa ada sesuatu yang membuntuti, mengawasi saya beraktivitas di bulan puasa, atau mungkin juga karena saya memang tidak nyaman dan memang malas dari sononya. Tapi urusan isi-mengisi, sayalah pengarang yang handal, namun tak pantas dicontoh. Saya selalu saja membual, namun dengan bualan yang masuk akal tentunya, supaya tidak mencuatkan masalah dengan guru-guru nantinya.

Sewaktu kelas 6 SD, saya selalu membawa serta pena dan buku Amaliyah Ramadhan, selain sajadah dan kopiah, tiap kali ke mesjid untuk salat isya dan tarwih berjamaah bersama adik-adik saya. Saya harus ke mesjid demi untuk mengisi kolom baris tiap halaman buku tersebut. Saya harus menuliskan nama hari dan tanggal, nama mesjid, nama penceramah, serta judul ceramahnya. Namun karena hampir setiap penceramah di mesjid dekat rumah saya tidak menyebutkan judul ceramah yang dibawakannya, maka kolom “judul ceramah” saya isi saja sesuai dengan apa yang dibahas oleh sang ustas. Jika sang ustas membahas mengenai 5 keistimewaan Ramadhan, saya pun memberinya judul seenaknya dengan “Keistimewaan Bulan Ramadhan” lalu saya pulang meminta orang tua saya memberi paraf. Alhasil, nilai agama di rapor cukup menggirangkan, sebab saya bisa menuntaskan pengisiannya, meskipun jujur saja, laporan saya itu selalu bersifat spekulatif.


Lembaran buku Amaliyah Ramadhan yang terisi penuh.
Foto: Muhammad Arief Al-Fikri.


Dan sewaktu saya nyantri di Pondok Modern (PM) Darussalam Gontor 1, Ponorogo, Jawa Timur, para santri juga dibagikan buku Amaliyah Ramadhan sebelum libur Ramadhan tiba. Buku Amaliyah yang satu ini lebih “menyusahkan” lagi sebab kita harus mengisi setiap kolom-baris secara detail mengenai jenis kegiatan apa yang dilakukan, hari apa dan jam berapa, di mana tempatnya, serta keterangan dan paraf tentunya. Hal ini semakin membuat saya malas mengisi buku tersebut, sebab merasa capek (meskipun belum dilakukan). Bayangkan, saya harus mengisinya setiap setengah jam, satu jam, dua jam, atau pun setelah berjam-jam, sesuai dengan lamanya suatu kegiatan itu dilakukan, dalam sehari. Oleh karena itu, ada banyak kolom dan baris yang kosong yang biasanya membuat saya “jungkir balik” berbohong mengisinya sebelum diserahkan kepada guru.

Setelah mengadakan wawancara dengan sejumlah pelajar di Makassar, ternyata saya mendapat “teman:, artinya ada “pengarang jagoan” lainnya yang saya temui.

Salah seorang sepupu saya misalnya, Yud (19). Gadis berkerudung ini mengatakan bahwa buku Amaliyah ramadhan yang biasa dijumpainya sewaktu masih SD dan SMP, sangatlah tidak penting. Pasalnya, diisi ataupun tidak tetap saja nilai agamanya di rapor cukup memuaskan, padahal sebelumnya gurunya telah melayangkan ancaman akan dikurangi nilainya bagi yang tidak mengisi.

Ia juga mengakui bahwa ia sering membual mengisi lembaran-lembaran buku Amaliyah Ramadhan miliknya. “Kalau saya dengarki ustasnya ada kata surga dan neraka dalam ceramahnya, ya saya tulis saja judulnya ‘Surga dan Neraka’”, ucapnya.

Lain lagi dengan Daus (11). Siswa kelas 6 B SD Negeri Sudirman IV ini mengaku tidak terlalu suka dengan buku Amaliyah Ramadhan. “Soalnya banyak yang harus dihapal. Selain itu, kita juga harus menuliskan apa saja kegiatan kita dalam sehari selama Ramadhan, misalnya tadarrusan, dan seterunsya, ”ujarnya. Berdasarkan informasinya, guru-gurunya mengharuskan setiap pelajar membeli buku Amaliah Ramadhan untuk dilaporkan ke Walikota Makassar.

Berbeda halnya dengan pendapat Yud, dan Daus; Rani, siswi SMAN 1 Makassar menilai buku Amaliyah Ramadhan memotivasi para pelajar untuk rajin beribadah. Menurutnya, jika seorang siswa sudah mengisi buku tersebut, berarti ia telah peduli terhadap agama. Namun sewaktu saya melemparkan pertanyaan dalam sebuah perbincangan santai, “Terus bagaimana jika siswa tersebut berbohong mengisi buku tersebut karena merasa terpaksa?” Rani menjawab,”Mmm...gimana ya...”

Tentu banyak pelajar yang bersemangat dan selalu berlomba-lomba mengisi buku Amaliyah Ramadhan. Tentu ada yang merasakan manfaatnya, tapi tentu juga ada yang mengkritisi dan mempertanyakannya, termasuk saya. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah para pelajar juga bakal rajin ke mesjid seandainya tidak ada kewajiban mengisi buku Amaliyah Ramadhan? Mungkin perlu dipikirkan cara yang lebih cerdas dan kreatif menumbuhkan gairah belajar agama di kalangan anak muda, bukan sekadar mengajari mereka rutin memburu tandatangan ustas di mesjid. Masalahnya, kalau banyak yang jadi “pengarang handal” seperti yang saya, bukankah tujuan meningkatkan nilai ibadah secara sungguh-sungguh, tidak tercapai? (p!)

*Citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar