Minggu, 16 Agustus 2009

Cetak Siswa Unggul, Cerdas dan Gaul

Tiap sekolah tentu mengharapkan cetakan output yang berkualitas. Tak terkecuali Smansa. Namun sekolah favorit berusia 59 tahun yang kini di komandoi Drs Herman Hading ini juga menghendaki siswanya untuk gaul. So, gaul seperti apa yah?

SMA Negeri 1 Makassar atau yang lebih familiar dengan sebutan Smansa. Salah satu sekolah paling favorit di Kota Anging Mammiri yang didirikan tahun 1950.

Waktu itu sih masih bernama AMS Makassar. Wah, artinya usia Smansa gampir 60 tahun dong! Tak ayal jika sekolah ini juga merupakan SMA perinntis paling uzur di Sulsel. Lambat laun AMS Makassar berganti nama menjadi SMA Makassar.

Well, seiring dengan perkembangan zaman, jumlah siswa Smansa kian menambah, oleh karena itu, tahun 1957 sekolah ini dibagi menjadi dua bagian. Nah, saat ini satu bagiannya menjadi Smansa dan satunya lagi yang sekarang kita kenal dengan SMAN 2 Makassar.

Dibalik sejarah Smansa, ternyata Smansa juga pernah luluh lantak akibat mengalami kebakaran besar. Kemudian dibangun kembali dan selesai 14 April 1982, lalu diresmikan oleh Daud Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada waktu itu.

Nah, itu segelintir flash back tentang sejarah sekolah yang bercokol di bilangan Gunung Bawakaraeng ini. Tak jauh berbeda dengan sekolah lain, Smansa juga menghendaki lulusan yang berkualitas. Namun dibalik itu semua, rupanya selain menciptakan siswa, pintar, unggul dan cerdas Smansa juga menghendaki anak didik yang "gaul". Begitu menurut Herman Hading, sang kepala sekolah.

"Nah, gaul disini tidak hanya seperti pengertian gaul anak-anak zaman sekarang, tetapi juga bagaimana mereka (siswa, red) bisa membangun komunikasi dengan siapa saja dan dimana saja mereka berada," tambah Herman Hading yang mengepalai sekolah ini sejak 2003.

Tentu semua hal itu dibarengi dengan optimalisasi bidang akademik maupun ekstrakurikuler yang terus digenjot. Contohnya saja pemberlakuan jam pelajaran tambahan tiap sore hari serta 18 pilihan program ekstrakurikuler yang disediakan. Termasuk ekskul fotografi, yang boleh jadi hanya bisa ditemukan di sekolah ini.

Fasilitas di SMA yang hingga sekarang memiliki 14 kepala sekolah ini boleh dibilang cukup memadahi, lihat saja halaman yang yang luas, lapangan, loboraturium, perpustakaan, ruang multimedia.

Bahkan masing-masing dua ruangan khusus digunakan menunjang belajar Matematika, bahasa Inggris dan Pendidikan Agama. Herman Hading juga menuturkan harapannya. "Kita selalu mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada pada siswa dalam proses belajar, untuk mencapai kualitas manusia yang maksimal dan gaul itu tadi," imbuhnya

dikutip dari : http://sman1mks.sch.id/html/index.php?id=berita&kode=7

Lempar "Bom Bismillah", Lalu Kita Aturlah..

:: Muhammad Arief al-Fikri ::


Terumbu karang di pulau terpencil yang rusak akibat pemboman.
Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin.


Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri mewawancari dua pakar yang meneliti dan bergelut dalam masalah destructive fishing untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kondisi terkini pemboman ikan, serta upaya untuk mengatasinya. Ada bom ikan yang bernama ”bismillah” dan juga ada kekhawatiran melihat lemahnya penegakan hukum, sehingga praktik ”saling atur” dengan aparat, membuat para pelaku tetap leluasa beraksi. (p!)
Di awal Desember 2007, saya mewawancarai Muhsin, seorang master diver dan peneliti terumbu karang yang saat ini bekerja di kantor kelautan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Di kediamannya yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea Makassar, Muhsin menerima saya dan memberi penjelasan panjang lebar mengenai destructive fishing (DF). Irama rintik-rintik hujan di malam itu menemani perbincangan kami.

Menurut Muhsin, setiap pulau atau daerah identik dengan alat tangkap yang khas. Berikut saya sajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:




Dan berikut penjelasannya lebih lanjut mengenai DF.

Untuk jenis bagang, terdiri dari 3 jenis. Bagang tancap (dengan lampu strongking), bagang perahu (dengan lampu sorot), dan bagang rambo (dengan banyak lampu). Bagang beserta lampunya ini digunakan untuk menangkap ikan yang hanya aktif pada malam hari (gelap) dan senang akan cahaya. Ikan jenis ini disebut dengan ototaksis positif.

Bubu tindis merupakan perangkap ikan yang terbuat dari bambu. Karena terbuat dari bambu (ringan), alat ini dipasang dengan cara ditindis – biasanya dengan menggunakan terumbu karang, itulah yang menyebabkan mengapa alat ini termasuk alat tangkap yang merusak- di dasar perairan supaya tidak goyang dan berpindah tempat setelah didiamkan. Untuk mengumpan ikan-ikan yang menjadi target, di dalam bubu biasa dipasangi umpan. Ikan-ikan yang sudah terkurung tidak dapat lagi keluar dari bubu.

Di dalam bubu, ikan-ikan akan kekurangan oksigen dan bahan makanan (bagi ikan pemangsa) lalu mati setelah beberapa waktu. Setelah ikan-ikan tersebut mati, barulah diangkat naik ke kapal/perahu.

Alat tangkap selanjutnya adalah cantrang, yang merupakan miniatur pukat harimau. Alat ini biasa digunakan masyarakat di TPI Paotere. Jenis dan bentuknya tidak berbeda dengan pukat harimau, hanya saja ukurannya lebih minim. Penggunaan pukat harimau dilarang karena tidak mengenal size and kind (ukuran dan jenis), sehingga ikan-ikan yang menjadi korban termasuk yang bukan target tangkapan. Ikan yang ukan target ini kemudian dibuang begitu saja seperti sampah. Bisa dibayangkan berapa banyak ikan yang hanya jadi sampah tangkapan lalu dibuang seenaknya jika radius yang terkena pukat harimau mencapai puluhan meter?

Untuk melengkapi penjelasan Muhsin, saya juga mewawancarai Yusran, direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia memberi gambaran lain tentang pemboman di Selayar. Lembaga yang dipimpin Yusran ini berdiri sejak 1997, bergerak di bidang konservasi laut, kehidupan pesisir, dan penangkapan ikan. Menurut Yusran, di kepulauan Selayar, biasa digunakan adalah bondet, alat tangkap serupa bom.

Berdasarkan pengalaman Yusran, pulau-pulau yang termasuk pulau yang kaya akan sumber daya lautnya di antaranya; Taka Bonerate, gugusan Kepulauan Spermonde yang terdiri dari 128 pulau, Kepulauan Sembilan di Sinjai, dan Kepulauan Tana Keke di Takalar.

Bom dan Bius
Alat tangkap yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah bom dan bius. Mengapa demikian? Menurut Muhsin, penggunaan bom untuk mencegah ikan lolos melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. ”Kalau telat nanti ikannya bisa melarikan diri. Makanya dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu diangkat naik” jelas Muhsin.

Sebelum membom ikan, di atas kapal/perahu para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan, termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya.

Bom dibeli satu paket dengan detonator, termolit, dan sumbu. Bom ini berasal dari bahan pupuk sianida –biasanya disiapkan oleh punggawa-- dengan kadar nitrogen yang tinggi. Harganya sekitar Rp200.000 per zak (1 zak = 25 kg).

Di Barrang Lompo, dalam satu kapal pa’es –kapal besar yang memuat es dan merupakan kapal pembom— biasanya membawa 10 hingga 12 zak bom untuk perjalanan 7 hingga 10 hari. Dan setiap kilogram, radiusnya mencapai 5 meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk – makhluk laut (misalnya plankton) yang tidak kasat mata (mikroskopis)? Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap, yakni bom.

Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut, penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat), kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air, kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2 cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan.

Jika lautnya dalam, maka sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek. Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan ”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan.

Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan dagingnya lembek (lunak).

Berbeda halnya dengan bom, bius berfungsi sebagai ”racun sementara”. Bius ini digunakan dengan cara disemprotkan ke area mana saja yang dikehendaki sebagai target tangkapan. Ikan-ikan yang sudah dibius akan teler, lalu selanjutnya disterilkan biusnya agar ikan normal kembali seperti sedia kala.

Ada dua cara mensterilkan bius ikan. Pertama, si penangkap (berenang) membawa ikan-ikan yang sedang ”teler” ini ke perairan yang tidak tercemar oleh bius dengan memasukkan ikan ke dalam jaring atau alat lain. Nah, di sini ikan-ikan tersebut akan kembali normal dalam beberapa waktu. Setelah ikan kembali normal, barulah ikan-ikan tersebut diangkat naik ke atas kapal/perahu. Kedua, ikan yang ”mabok laut” tadi dimasukkan ke dalam keramba, namun cara ini memakan waktu yang lebih lama dari cara pertama, biasanya satu minggu.

Menurut Yusran, jenis ikan yang menjadi target pembiusan biasanya jenis ikan yang bernilai ekonomis dan ikan hias. Ikan-ikan tersebut tentu harus dijual dalam keadaan hidup, makanya dibius supaya tetap bagus tampak fisiknya. ”Pembeli mana tahu kalo ikan tersebut sudah dibius, toh ikannya dijual hidup dan tidak ada ciri-ciri fisik yang nampak seperti ikan hasil bom,” ujar Yusran menambahkan.

Lantas, apakah efek bius dalam tubuh ikan tidak hilang dan menjadi racun bagi para konsumen setelah dimasak? Menurut Muhsin, berdasarkan penelitian, bahan-bahan yang terkandung dalam bius yang meracuni ikan akan hilang sedikitnya 2 hari. Sedangkan Yusran menambahkan, efek bius tersebut tidak begitu signifikan mempengaruhi kesehatan konsumen. ”Buktinya sudah banyak yang makan ikan, tapi belum pernah ada berita mengenai hal tersebut” ujarnya yakin.

Terus Berlanjut
Kegiatan penangkapan ikan model DF terus berlangsung hingga sekarang, disebabkan karena beberapa hal. Pertama, sebut saja ’tuntutan hidup’. Karena penangkapan ikan secara DF lebih mudah dan lebih cepat ketimbang dengan cara alami (tanpa menggunakan alat2 tangkap yang merusak) sehingga arus jual-beli bisa tetap lancar dan kontinu. Dengan begitu, kebutuhan para nelayan dan keluarga sehari-hari bisa tetap terpenuhi. Kedua, adanya realita ”hukum kotor”.

Misalnya yang terjadi di Selayar dan Barrang Lompo. Berdasarkan cerita Muhsin, di kedua daerah tersebut para nelayan (pelaku penangkapan ikan secara merusak) menyumpal mulut aparat dengan lembaran-lembaran rupiah agar perbuatannya tidak dilaporkan, karena resikonya adalah hukuman pidana seperti yang tercantum pada UU No. 31 Tahun 2000 Pasal 84 Ayat 1, yakni denda paling banyak Rp1.200.000.000 (satu milyar dua ratus juta rupiah) atau kurungan penjara paling lama 6 tahun.

Di Barrang Lompo, tiap satu buah kapal pa’es (kapal pembom) membayar petugas 2 juta rupiah untuk satu kali trip (kurang lebih selama 1 minggu). Selama sebulan, setiap kapal biasanya melakukan trip sebanyak 3 kali. Berarti setiap bulannya, dompet aparat di daerah itu bertambah tebal oleh uang 6 juta rupiah. ”Harga itu berlaku sebelum tahun 2000...,” tambah Pak Muhsin. Nominal ini hanya untuk satu buah kapal, sedangkan volume kapal pembom di Barrang Lompo kala itu mencapai 30 buah. Wah, berapa banyakkah uang yang diperlukan ”meredam” petugas? Silakan hitung sendiri!

Meskipun harus merogoh kocek, namun biaya yang para nelayan keluarkan untuk membungkam aparat tidak mengurangi keuntungan hasil penjualan ikan secara drastis. Dengan kata lain, tidak seberapa. Oleh karena itulah, kegiatan penangkapan ikan secara destruktif (DF) tetap berlangsung. Ketiga, suplai alat dan bahan untuk menangkap (misalnya bom dan bius) tetap tersedia. Meskipun sulit untuk mendapatkannya, namun setiap daerah/pulau sudah punya penyuplai dan jalur distribusi tersendiri.

Solusi
Mengenai solusi, saya mendapati dua jawaban yang berbeda namun cukup menarik dari kedua narasumber tersebut.

Menurut Yusran, sudah ada tiga program untuk setidaknya mengikis sedikit demi sedikit arus kegiatan penangkapan ikan secara destruktif. Ada yang sudah dan masih berlangsung, namun ada juga yang masih ”hitam di atas putih”.

Pertama, MCS (Monitoring Controlling Surveillance) untuk pengawasan dan pemantauan praktek-praktek DF secara berkelanjutan. MCS sendiri terbagi atas dua, yakni MCS berbasis laut yang dilakukan oleh TNI AL dan Polairud (polisi air dan udara) dan MCS berbasis darat atas rekomendasi DFW (Destructive Fishing Watch) bekerja sama dengan YKL.

MCS berbasis laut bertujuan untuk menangkap kapal-kapal pembom di laut. Untuk sementara, MCS inilah yang gencar dilakukan. Sedangkan MCS berbasis darat yang sudah mulai diaplikasikan bertujuan untuk memutus mata rantai jaringan distribusi bom dan bius. Kedua, CEB (Character Education Building) yakni penanaman nilai-nilai perilaku penangkapan yang ramah lingkungan melalui proses pengajaran, atau bisa juga disebut idealisme konservasi. Targetnya adalah generasi kawula muda.

Rencananya, Kepulauan Selayar merupakan daerah pertama yang akan segera dijamah program tersebut. Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang dibiayai oleh World Bank (bank dunia) dan ADB (Asian Development Bank) akan memfasilitasi pengadaan pelajaran muatan lokal khusus mengenai penangkapan ikan yang ramah lingkungan di sekolah-sekolah di Kepulauan Selayar.

Terlepas dari apakah ada udang di balik batu, yang jelas menurut Yusran agenda ini sudah dalam proses penyusunan kurikulum. Tujuannya, agar generasi muda mengetahui dampak dan pengaruh DF bagi kelangsungan kehidupan bawah laut serta diharapkan bisa menemukan alternatif mengenai cara tangkap yang tidak merusak. Ketiga, alternatif teknologi.

Di lain pihak, Muhsin memiliki pernyataan sendiri mengenai solusi DF. ”Susah kalau mikir solusi, sebab akar masalahnya ada pada hukum dan aparat. Kalau akarnya sudah lemah begini, bagaimana pohonnya mau kokoh?” ujar Muhsin. (p!)

*Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Mereka yang Resah di Los Pasar Terong

:: Muhammad Arief al-Fikri ::


Los jualan Pasar Terong yang dibongkar 31 Agustus 2007.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.


Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri siswa SMAN 1 Makassar yang tinggal di kawasan Pasar Terong, Makassar, menyaksikan keresahan sejumlah pedagang menyusul pembongkaran los-los jualan di luar gedung pasar, yang rencananya akan diganti dengan bangunan ruko. Keresahan tersebut dibagi dalam tulisan berikut ini. (p!)
Daeng Sangkala, salah seorang pedagang rempah-rempah yang biasanya menggelar dagangannya di salah satu los di luar bangunan Pasar Terong, Makassar, sudah tidak lagi berjualan sejak satu setengah bulan terakhir. Menurut para pedagang lainnya dan penduduk sekitar, Daeng Sangkala sudah pindah berjualan ke Sungguminasa, setelah pedagang lainnya di jejeran los di Pasar Terong itu “memusuhinya”. Tempat berjualan yang dulu ditempati Daeng Sangkala, kini digunakan seorang pedagang VCD bajakan.

Daeng Sangkala telah menjadi korban dari prahara yang terjadi di pasar ini. Para pedagang lainnya mengecam Daeng Sangkala tidak solider karena tidak ikut berdemonstrasi menentang penggusuran los jualan para pedagang pada akhir Agustus lalu. Karena dianggap tidak solider itulah, Daeng Sangkala kemudian dikucilkan, dan akhirnya memilih pindah.

Gelombang prahara memang sedang melanda para pedagang yang selama ini berjualan di los di luar gedung pasar. Rencana pembangunan ruko di lokasi tempat mereka berjualan selama ini, membuat suasana pasar menjadi panas. Tanggal 30 Agustus lalu, sekitar pukul 12.30 siang, sejumlah pedagang kaki lima (PKL) Pasar Terong memang mengadakan aksi demonstrasi di depan bangunan permanen Pasar Terong.

Mereka berhadapan langsung dengan para petugas Pamong Praja. Aksi ini dipicu oleh rencana pembongkaran tempat-tempat jualan para pedagang kaki lima pasar terong yang berada di sisi kanan gedung pasar. Mereka yang selama ini berjualan di emperan sekitar gedung pasar akan dipindahtempatkan ke sisi kiri gedung, di mana telah disediakan jejeran meja jualan yang dinaungi seng, yang dilengkapi dengan meja kecil berukuran sekitar 100 x 80 cm.

Setiap meja telah ditulisi nomor dengan cat di bagian depan, yang menunjukkan nomor meja masing-masing pedagang yang akan direlokasi tempat jualannya, dan setiap pedagang hanya boleh menempati satu meja sesuai dengan nomor kartu yang telah dibagikan. Istilah pihak pengelola pasar ini adalah penertiban dan penataan pasar. Tapi di mata para pedagang, ini jelas adalah penggusuran.

Para pedagang tetap bersikukuh tidak ingin pindah, karena selain ukuran tempat berjualan pengganti yang terlalu kecil dan sempit dibandingkan dengan tempat yang sekarang, beredar juga kabar yang membuat pedagang resah: ada oknum yang seenaknya mengharuskan setiap meja dibeli dengan harga Rp2,5 juta. Padahal berdasarkan pernyataan seorang pamong praja, tidak ada pemungutan biaya untuk meja-meja tersebut. Dalam suasana panas yang diwarnai banyak rumor itulah, para pedagang sepakat siapa saja yang mencoba pindah dari tempat berjualan yang lama, akan menjadi musuh pedagang lainnya.

Penataan kembali pasar ini memang membuat gelisah para pedagang. Rencananya, los pedagang akan dirombak menjadi kawasan ruko bertingkat dua yang akan dijual seharga Rp900 juta per ruko. Tanah di sepanjang ruas kanan pasar tersebut yang merupakan lahan para pedagang selama ini mendirikan tenda, seng, dan menjajakan jualannya, akan dijadikan jalanan masuk untuk kendaraaan. Tersiar kabar di antara pedagang bahwa kelak Pasar Terong akan menjelma menjadi kompleks pertokoan yang megah.

Seperti yang dilansir media, investor bernama PT Prabu Sejati atau PT Putra Makassar bekerjasama dengan PD Pasar Terong dan Pemkot Makassar akan menata pembangunan kawasan yang selama ini menjadi los jualan.

Para pedagang kemudian angkat suara, berunjuk rasa menolak keras pembongkaran dan pemindahan. Unjuk rasa yang dipimpin oleh Darmawati dari Forum Persaudaraan Pedagang Pasar Terong, yang juga salah seorang pedagang di pasar tersebut, berlangsung ramai di bawah siraman teriknya matahari. Tidak henti-hentinya mereka menyuarakan penolakan.


Pamong Praja yang membongkar.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.



Sebagian pedagang yang menyaksikan pembongkaran.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.



Saya ikut menyaksikan unjuk rasa dan pembongkaran yang berlangsung di pasar. Dengan membuka orasi dengan membaca basmalah dan ucapan selamat siang, Darmawati meneriakkan,”Saudara-sadarakau pedagang Pasar Terong, apa yang disampaikan tadi oleh bapak-bapak, kami tolak! Pembongkaran, kami tolak! Pemindahan, kami tolak! Kami minta secara organisasi dan secara kekeluargaan dikoordinasikan kembali di dalam ruangan. Kami minta jangan dirugikan, jangan disakiti. Kami di sini mencari nafkah, mencari makan, kami punya anak. Dan perlu bapak-bapak ibu-ibu ketahui, yang membuat ramai para pengunjung di sini adala pedagang kaki lima!”

Setiap satu kalimat selesai diteriakkan, disusul dengan sorak-sorai, seperti, “Betuuulll….Iyyaaaa….Keso’!”.

Keesokan harinya, yakni hari Jumat tanggal 31 Agustus 2007 selepas ashar, sekelompok Pamong Praja datang melakukan pembongkaran. Para petugas tersebut menjadi beringas setelah seorang rekannya disemprot dengan adonan cabai oleh salah seorang pedagang.

Satu per satu seng dibuka, tiang dan balok penyangga tenda dilepas, dan meja kayu jualan diinjak-injak, meskipun ada beberapa pedagang yang memilih mmbongkar sendiri tempat jualannya.

Dari obrolan dengan para pedagang pasar, mereka memang tak menyerah untuk melawan. Mereka pun menyuarakan aspirasi ke DPRD Makassar seminggu setelah pembongkaran itu. Tentu mustahil bagi para pedagang untuk membeli ruko yang harganya hampir semilyar tersebut. Mereka hanya bisa tertegun pasrah menyaksikan lapak-lapak jualan mereka roboh satu per satu, luluh lantak berantakan.

Mereka kini terus berkeluh kesah. Hajjah Leda seorang penjual daun bawang yang melihat lapaknya dibongkar memelas, “Bagaimana ini, mungkin lebih baik kalau saya kembali saja ke kampung untuk tanam ubi..”

Daeng Nanna juga mengeluh,” Bagaimana kita mau pindah kalau tempat penggantinya Sangat kecil begitu, bahkan untuk duduk buang air besar saja tidak cukup”.

Aksi pembongkaran di akhir Agustus itu berlangsung hingga senja hari. Setelah magrib, suasana sekitar Pasar Terong kembali riuh oleh pedagang dan masyarakat sekitar. Mereka menunggu datangnya mobil buldozer yang siap menyendok kepingan-kepingan lapak jualan yang berhamburan.


Los Hajjah Leda sebelum pembongkaran.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.



Los Hajjah Leda setelah pembongkaran.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.



Sembari menanti datangnya mobil tersebut, beberapa pedagang sudah terlebih dahulu membakar sebahagian sisa-sisa tempat jualan mereka di lokasi pembongkaran. Sebelumnya santer kabar bahwa ada pedagang yang emosi dan nekat membumi hanguskan seluruh pasar bermodalkan 3 liter bensin. Untuk mengantisipasi rumor ini, salah seorang warga menghubungi petugas pemadam kebakaran untuk berjaga-jaga dan mencegah sang jago merah semakin mengamuk. Sekitar pukul 7.30 malam, listrik padam kurang lebih setengah jam. Warga sekitar pasar pun mengaitkan pemadaman ini dengan berbagai rumor yang mengiringi pembongkaran yang terjadi sepanjang hari itu.

Setelah pembongkaran
Sebulan lebih telah berlalu setelah pembongkaran, nasib para pedagang semakin memprihatinkan. Aspirasi yang telah disampaikan ke DPRD Makassar, konon akan diteruskan ke Pemkot Makassar dan pihak investor, meski belum ada kabar lanjutan yang didengar oleh para pedagang.

Kini, para pedagang harus rela menanggung suasana berjualan yang makin panas dan pengap dari sebelumnya, sebab sudah tidak ada lagi jejeran seng yang rapat menjadi penaung bagi tiap-tiap tempat jualan para pedagang yang berada di sepanjang ruas kanan pasar. Hanya ada tenda-tenda yang dipasang seadanya.

Sampai hari ini mereka masih tetap bertahan berjualan di lahan mereka masing-masing dengan lapak-lapak seadanya dengan memanfaatkan bagian lapak yang masih tersisa dari aksi pembongkaran. Menurut Darmawati seperti yang dilansir Harian Fajar 4 September, para pedagang bertahan di los mereka yang jumlahnya ada sekitar 40 los, karena ganti rugi yang disodorkan tidak memadai, hanya Rp5 juta per los, sementara para pedagang membayar uang muka los Rp7 juta dan mencicil Rp1,5 juta per bulan. Perjanjian dengan pihak investor, PT Prabu Sejati pedagang bisa menempati los ini hingga 2017. “Tapi baru tiga tahun, kami malah digusur. Penggusuran pun tanpa komunikasi dengan kami” keluh Darmawati.

Kini, setiap hari saat saya lewat di dekat jejeran los para pedagang itu, saya menemui wajah-wajah penuh kecemasan, dan juga tentu saja saya terus mendengar berbagai rumor yang berkembang seputar pembangunan ruko di pasar itu. (p!)

*Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Pengakuan Jujur Tentang Buku Amaliyah Ramadhan

:: Muhammad Arief Al-Fikri ::


Antri meminta tanda tangan ustas seusai ceramah salat tarwih.
Foto: Lily Yulianti Farid.


Salah satu pemandangan khas di mesjid selama bulan Ramadhan, adalah para pelajar yang sibuk mencatat ceramah tarwih, kemudian berebut meminta tanda tangan sang ustas, begitu ceramah usai. Mengisi buku Amaliyah Ramadhan mewarnai liburan anak-anak ini. Namun citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri memiliki pandangan lain mengenai kegiatan ini. Ia mencoba kritis dan jujur melihat aktivitas para pelajar mengisi buku Amaliyah Ramadhan. (p!)
Ramadhan datang, liburan tiba. Inilah yang dialami para pelajar. Bagi para pelajar SD dan SMP yang menjalakan puasa, liburan harus diisi dengan mencatat kegiatan selama puasa melalui buku Amaliyah Ramadhan. Ini adalah buku wajib yang dibagikan pihak sekolah sebelum libur Ramadhan. Selain dimaksudkan sebagai jurnal kegiatan harian para siswa selama Ramadhan, buku ini juga sekaligus berfungsi sebagai “mata-mata” guru dalam memantau keseharian murid mereka selama berpuasa.

Sudah merupakan rahasia umum memang, bahwa buku Amaliyah Ramadhan bertujuan agar para pelajar bisa terkontrol beribadah secara rutin, rajin, dan baik selama bulan Ramadhan. Lembar-lembar buku ini berisi tabel daftar kegiatan para pelajar dalam sehari yang diformat dalam susunan kolom-baris; ada kolom waktu yang menyatakan lamanya si pelajar melakukan suatu kegiatan; kolom hari/ tanggal yang menunjukkan nama harinya; kolom jenis kegiatan untuk menuliskan nama kegiatannya; kolom keterangan dan kolom paraf/ tanda tangan pelajar sendiri atau orang tua.

Namun menurut saya, nampaknya cenderung ada kesan memaksa dalam konsep pengisian buku Amaliyah Ramadhan tersebut. Apalagi jika para pelajar sudah diwanti-wanti terlebih dahulu oleh guru mereka, sebelum buku tersebut dibagikan. Ada guru yang dengan tegas berkata, bahwa barang siapa yang tidak mengisi satu halaman saja atau bahkan semuanya, niscaya nilai pelajaran agamanya dikurangi.

“Nilai pelajaran agama” ini yang menjadi momok. Tak ayal, tidak sedikit pelajar yang memanipulasi laporannya di halaman demi halaman buku Amaliyah Ramadhan mereka. Tentu, demi mengejar target nilai yang memuaskan.

Seperti pengalaman saya sendiri. Jujur saja, saya adalah “pengarang handal” dalam mengisi buku Amaliyah Ramadhan. Alasannya, saya tidak mau pusing, malas, merasa terbebani, dan bahkan merasa dizalimi. Sejak SD hingga SMP, setiap menjelang Ramadhan, di sekolah saya selalu dibagikan buku Amaliyah Ramadhan. Namun entah kenapa, saya selalu berkecut hati setiap kali menerima buku ini. Mungkin karena saya merasa ada sesuatu yang membuntuti, mengawasi saya beraktivitas di bulan puasa, atau mungkin juga karena saya memang tidak nyaman dan memang malas dari sononya. Tapi urusan isi-mengisi, sayalah pengarang yang handal, namun tak pantas dicontoh. Saya selalu saja membual, namun dengan bualan yang masuk akal tentunya, supaya tidak mencuatkan masalah dengan guru-guru nantinya.

Sewaktu kelas 6 SD, saya selalu membawa serta pena dan buku Amaliyah Ramadhan, selain sajadah dan kopiah, tiap kali ke mesjid untuk salat isya dan tarwih berjamaah bersama adik-adik saya. Saya harus ke mesjid demi untuk mengisi kolom baris tiap halaman buku tersebut. Saya harus menuliskan nama hari dan tanggal, nama mesjid, nama penceramah, serta judul ceramahnya. Namun karena hampir setiap penceramah di mesjid dekat rumah saya tidak menyebutkan judul ceramah yang dibawakannya, maka kolom “judul ceramah” saya isi saja sesuai dengan apa yang dibahas oleh sang ustas. Jika sang ustas membahas mengenai 5 keistimewaan Ramadhan, saya pun memberinya judul seenaknya dengan “Keistimewaan Bulan Ramadhan” lalu saya pulang meminta orang tua saya memberi paraf. Alhasil, nilai agama di rapor cukup menggirangkan, sebab saya bisa menuntaskan pengisiannya, meskipun jujur saja, laporan saya itu selalu bersifat spekulatif.


Lembaran buku Amaliyah Ramadhan yang terisi penuh.
Foto: Muhammad Arief Al-Fikri.


Dan sewaktu saya nyantri di Pondok Modern (PM) Darussalam Gontor 1, Ponorogo, Jawa Timur, para santri juga dibagikan buku Amaliyah Ramadhan sebelum libur Ramadhan tiba. Buku Amaliyah yang satu ini lebih “menyusahkan” lagi sebab kita harus mengisi setiap kolom-baris secara detail mengenai jenis kegiatan apa yang dilakukan, hari apa dan jam berapa, di mana tempatnya, serta keterangan dan paraf tentunya. Hal ini semakin membuat saya malas mengisi buku tersebut, sebab merasa capek (meskipun belum dilakukan). Bayangkan, saya harus mengisinya setiap setengah jam, satu jam, dua jam, atau pun setelah berjam-jam, sesuai dengan lamanya suatu kegiatan itu dilakukan, dalam sehari. Oleh karena itu, ada banyak kolom dan baris yang kosong yang biasanya membuat saya “jungkir balik” berbohong mengisinya sebelum diserahkan kepada guru.

Setelah mengadakan wawancara dengan sejumlah pelajar di Makassar, ternyata saya mendapat “teman:, artinya ada “pengarang jagoan” lainnya yang saya temui.

Salah seorang sepupu saya misalnya, Yud (19). Gadis berkerudung ini mengatakan bahwa buku Amaliyah ramadhan yang biasa dijumpainya sewaktu masih SD dan SMP, sangatlah tidak penting. Pasalnya, diisi ataupun tidak tetap saja nilai agamanya di rapor cukup memuaskan, padahal sebelumnya gurunya telah melayangkan ancaman akan dikurangi nilainya bagi yang tidak mengisi.

Ia juga mengakui bahwa ia sering membual mengisi lembaran-lembaran buku Amaliyah Ramadhan miliknya. “Kalau saya dengarki ustasnya ada kata surga dan neraka dalam ceramahnya, ya saya tulis saja judulnya ‘Surga dan Neraka’”, ucapnya.

Lain lagi dengan Daus (11). Siswa kelas 6 B SD Negeri Sudirman IV ini mengaku tidak terlalu suka dengan buku Amaliyah Ramadhan. “Soalnya banyak yang harus dihapal. Selain itu, kita juga harus menuliskan apa saja kegiatan kita dalam sehari selama Ramadhan, misalnya tadarrusan, dan seterunsya, ”ujarnya. Berdasarkan informasinya, guru-gurunya mengharuskan setiap pelajar membeli buku Amaliah Ramadhan untuk dilaporkan ke Walikota Makassar.

Berbeda halnya dengan pendapat Yud, dan Daus; Rani, siswi SMAN 1 Makassar menilai buku Amaliyah Ramadhan memotivasi para pelajar untuk rajin beribadah. Menurutnya, jika seorang siswa sudah mengisi buku tersebut, berarti ia telah peduli terhadap agama. Namun sewaktu saya melemparkan pertanyaan dalam sebuah perbincangan santai, “Terus bagaimana jika siswa tersebut berbohong mengisi buku tersebut karena merasa terpaksa?” Rani menjawab,”Mmm...gimana ya...”

Tentu banyak pelajar yang bersemangat dan selalu berlomba-lomba mengisi buku Amaliyah Ramadhan. Tentu ada yang merasakan manfaatnya, tapi tentu juga ada yang mengkritisi dan mempertanyakannya, termasuk saya. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah para pelajar juga bakal rajin ke mesjid seandainya tidak ada kewajiban mengisi buku Amaliyah Ramadhan? Mungkin perlu dipikirkan cara yang lebih cerdas dan kreatif menumbuhkan gairah belajar agama di kalangan anak muda, bukan sekadar mengajari mereka rutin memburu tandatangan ustas di mesjid. Masalahnya, kalau banyak yang jadi “pengarang handal” seperti yang saya, bukankah tujuan meningkatkan nilai ibadah secara sungguh-sungguh, tidak tercapai? (p!)

*Citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

SMS "Sayang" dan "Asmara"

:: M. Arief Al-Fikri ::


Berita Pilkada Sulsel yang kian gencar.
Foto: Repro Harian Tribun Timur/M. Arief Al-Fikri.


Masihkah ada ruang publik, media dan saluran komunikasi yang tidak dimanfaatkan tiga pasang kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada Sulsel tanggal 5 November mendatang? Jawabannya sudah pasti: tidak. Kampanye Pilkada sudah seperti udara, ada di mana-mana, masuk ke paru-paru, terserap oleh kulit, disadari atau tidak. Pesan yang terus terang atau terselubung hadir di televisi, radio dan surat kabar, setiap hari, setiap menit. Bahkan selama bulan Ramadan, siaran berbuka puasa pun digempur “pesan sponsor”. Citizen reporter M. Arief Al-Fikri siswa SMAN 1 Makassar membagi hasil pengamatannya terhadap pesan pendek SMS dan berita Pilkada yang ditayangkan sebuah koran lokal di Makassar. Berikut ulasan sederhananya. (p!)
“Jangan ketinggalan info-info terbaru Pilkada Sulsel. Kirim SMS ke 9858....

Demikianlah penggalan keterangan yang tertulis dalam rubrik SMS Pilkada yang ditayangkan Harian Tribun Timur, koran yang populer dengan slogan; Spirit Baru Makassar. Harian yang sudah mengklaim diri sebagai pemimpin pasar di Makassar sejak kehadirannya tiga tahun lalu, memang gencar memberitakan segala sesuatu yang terkait Pilkada Sulsel untuk memilih gubernur dan wakil gubernur baru bulan November mendatang.

Para pembaca setiap harinya bisa menemui instruksi mengikuti berita Pilkada melalui SMS ini di rubrik politik Tribun Timur. Informasi tersebut menempati posisi header halaman. Petunjuk praktis ini seakan menjadi penyambut para pembaca sebelum membaca berita lainnya. Saya tertarik mengamati layanan berita Pilkada via SMS ini karena membayangkan bahwa pengelola media ini telah menempatkan berita Pilkada sebagai berita yang sangat ditunggu pembaca jauh hari sebelum hari “H”, dan untuk mendapatkan updating berita, tidak perlu menunggu hari esok, tapi cukup mengirim SMS saja.

Selain itu, ada pula SMS Pilkada yang bersifat interaktif, di mana pembaca yang mengirimkan SMS untuk menyatakan dukungan. Caranya, pembaca tinggal mengirim SMS baik berupa dukungan, informasi acara, posko, kegiatan, saran, kritik, dan laporan dinamika Pilkada di daerah masing-masing. Hanya dengan mengetik POL pesan pembaca, lalu kirim ke 0816252233, pesan pembaca akan dimuat setiap hari di rubrik politik.

Berikut ini sejumlah contoh SMS yang dimuat:

“KUDUKUNG ki SAYANG, hanya SAYANG yg memikat nuraniku untk saya sayang dan kupilih, untk warga Sulsel, pastikan SAYANG yg Pasti”

“AMIN/Mansyur meskipun udah Tua masih saja terlibat Asmara…tapi kita harus tetap “SAYANG” krn kita ingin BERUBAH UNTUK SEJAHTERA. BANTUKA’ BOSS!!!

“MAJU ASMARA kritik yg jujur trkadang mrupkn pujian yg trsmbuxi. satu mushku trLLu bnyk, seribu tmnku trLLu sdkit, memilih pemimpin hrs pntr2. Cagub yg trLLu mau akan fatal akibatxa (by Syafar in limbung tmcinna)”

“APAPUN yg terjadi pilihan kami tetap SYL, bahkan nyawa taruhanx pilihan kami tetap SYL. Hidup SYL, trims IR, keluarga besar Bonerate, kab. Selayar

Bagi warga Sulel, istilah yang lahir untuk kepentingan Pilkada, seperti SAYANG (Syahrul Yasin Limpo- Agus Arifin Nu’mang), ASMARA (Amin Syam-Mansyur Ramly) dan SYL (Syahrul Yasin Limpo) menjadi kata-kata yang mudah ditemui di mana saja.

Dari pengamatan yang saya lakukan selama sepekan pada akhir bulan Agustus 2007, dari rubrik SMS Pilkada harian Tribun Timur, rata-rata bunyi SMS yang ditayangkan berupa dukungan dan sindiran kepada para kandidat yang bertarung. SMS yang dimunculkan nyaris tanpa kritikan, keluhan, ataupun yang lainnya oleh para pembaca terhadap para kandidat. Padahal telah tertulis bahwa pembaca dapat mengirimkan pesan dalam bentuk dukungan maupun kritikan, Mengapa tidak kritikan? Penyebabnya bisa saja karena memang tidak ada pembaca yang mengirimkan kritikan, atau mungkin saja pihak redaksi koran tersebut memiliki kebijakan ketat dalam penayangan kritik, sebab di bagian bawah rubrik SMS Pilkada terpasang keterangan: Mohon maaf kami tidak menerima SMS yang menyerang kehormatan pribadi.

Meskipun ada dua SMS yang mengandung kritikan, namun tetap saja ujung-ujungnya berbunyi dukungan. Berikut kutipannya:

“DI DESA kmi sama skali tdk ada pmbngunan dari dana pmbangunan Desa sbnyk 50 juta, yg ada cuma pembangunan rumah kep Desa, Demi ALLAH kmi rakyat Desa Tellu Boccoe kec Ponre kab Bone akan mmilih bpk Aziz-Mubil krn niat bpk mmbrantas korupsi. Insya Allah kmi akan mendukung niat baik bpk wassalam.”

Atau yang ini:

“BUAT Elit GOLKAR,”Jangan Marah dimuara” dan “Berhentilah Mengaduk Samudra” tetapi “Railah Tanganku, Kuraih Tanganmu” itulah harapan semua orang, jngn kwatir Boss tdk ada tangan kuraih selain tangannya SYAHRUL, EWAKO cappo. BONE kue.”

Sebagai pembaca, tentu terbetik pertanyaan bagaimana SMS Pilkada ini bisa dilihat sebagai cerminan dukungan rill yang diperoleh setiap pasangan di tengah masyarakat. Berapa banyak jumlah SMS yang masuk untuk setiap pasangan dan bagaimana proses seleksi yang dilakukan redaksi terhadap SMS dukungan dan kritikan yang ditampilkan, tentu bisa didiskusikan lebih jauh. Sebagai pelajar, gencarnya SMS Pilkada membuat saya ingat kontes Indonesian Idol atau Kontes Dangdut Indonesia, yang pemenangnya memang dipilih berdasarkan banyaknya SMS. Memilih gubernur dan wakil gubernur tentu tidak sama dengan memilih idola bermodal SMS terbanyak.

Berita Pencitraan
Saya juga membaca hampir semua berita Pilkada Sulsel di harian yang sama, selama periode terakhir bulan Agustus. Meski ini bukanlah penelitian ilmiah, melainkah hanya sebuah review sederhana, dengan mudah saya menemukan berita-berita yang dari judulnya saya nilai sebagai berita peristiwa, tapi ternyata memuat pernyataan dukungan bagi calon tertentu.

Berita-berita Pilkada memang gencar, Topik-topik beritanya, kebanyakan mengabarkan kegiatan para kandidat Pilkada dan konflik antara sesama elit politik. Selain itu, ada juga ulasan aspirasi rakyat biasa yang rata-rata dari mahasiswa, dosen, direktur, dan kalangan well-educated lainnya. Pada bagian yang berisikan kritikan, pernyataan, usulan, dan aspirasi lainnnya tersebut, hanya memenuhi kurang lebih 10 % dari seluruh komposisi halaman, dikalahkan oleh berita kegiatan ceramah para kandidat di berbagai forum, kunjungan mereka ke daerah-daerah, dan konflik antara sesama elit pilkada yang nampaknya merupakan langganan rubrik politik setiap harinya dengan cara penyajian berita yang tak jauh beda dengan kabar para selebritis di infotainment.

Simak misalnya pertarungan soal “warna kuning”. Pada berita berjudul “Arfandy: Soal Kuning, Agus Tak Beritikad Baik”. Dijelaskan bahwa sekretaris DPD I Golkar Sulsel Arfandy Idris menilai Agus Arifin Nu’mang tidak beritikad baik, pasalnya tidak mematuhi ketentuan Golkar dalam menggunakan atribut yang identik dengan warna kuning. Elit Golkar kembali menyorot Agus lantaran munculnya iklan Agus di salah satu stasiun tv nasional dengan jaket kuning. Namun, saat dikonfirmasi secara terpisah, Agus enggan menanggapi banyak tudingan Arfandy. Ia merasa tidak pernah menggunakan atribut partai untuk mempengaruhi pemilih. “…….Kan tidak semua baju kuning adalah atribut Golkar, ”ujarnya. Ia lebih memilih fokus pada strategi pemenangan.

Setelah membaca ini, saya pun teringat dengan kasus grup band papan atas Dewa 19 yang sempat heboh di berbagai media beberapa tahun lalu terkait lambang Laskar Cinta-nya yang dituding meremehkan nama Allah SWT. Intinya, persoalan beda persepsi yang dibesar-besarkan.

Berita serupa juga saya temui pada judul “Panwas-KPU Bersitegang Soal Berkas Kandidat”. Pada berita dengan judul paling besar dari yang lainnya ini, sebagai pembuka berita, dipasang foto Dr. Juajir Sumardi (Ketua Panwas Pilkada) dan foto Andi Mappinawang (Ketua KPU Sulsel) di bawahnya beserta pernyataan masing-masing mengenai legalitas penyerahan berkas kandidat. Dituliskan bahwa KPU bersikukuh tidak akan menyerahkan berkas pencalonan ke panwas, sedangkan panwas meminta KPU tidak menghalang-halangi pekerjaan mereka. Namun, alasannya KPU tidak menyerahkan berkas tersebut kendati KPU tidak berkewajiban memberikannya ke panwas.

Selain dua berita di atas, masih ada beberapa berita konflik lainnya yang saya temui. Dan yang tidak kalah “spektakulernya”, adalah jenis berita yang saya sebut dengan “berita pencitraan”. Dua di antaranya melalui ulasan buku karya Syahrul Yasin Limpo : Ambil Tanganku, Kuambil Tanganmu, dan buku : Prof. Dr. H. Mansyur Ramly For Vice Governor, karya M. Saleh Mude.

Dalam “Membaca Kearifan Kepemimpinan” yang merupakan judul ulasan buku karya Syahrul Yasin Limpo, dijelaskan panjang lebar 22 paragraf mengenai pemikiran kearifan kepemimpinan seorang Syahrul Yasin Limpo. Kalimat-kalimat dalam tulisan tersebut antara lain berbunyi, “…buku ini hadir sebagai cerminan kepekaaan dalam mengamati apa yang berkembang di masyarakat; dapat diduga, Syahrul mengail inspirasi dari laku sufi Dato Patimang lalu mengukuhkan pandangan dan sikapnya tentang kepemimpinan dan pemerintahan; serta filosofi “ambil tanganku” sebagai sikap terbuka, sangat relevan di era modern dimana sinergi unsur pembentuk ikatan sosial, proses interaksi dalam organisasi, pola manajemen, inovasi dan kreativitas permanen adalah keterbukaan,”

Penjelasan ini semakin memperkuat “citra” seorang Syahrul Yasin Limpo sekaligus semakin memperkuat pesan untuk memilihnya di Pilkada.

Sedangkan pada ulasan resensi buku Prof. Dr. H. Mansyur Ramly For Vice Governor, bentuk pencitraannya melalui pernyataan-pernyataan “orang-orang yang tidak biasa”. Misalnya, “Mansyur Ramly telah menunjukkan prestasinya yang mengagumkan dalam dua bidang; ilmiah dan birokrasi”ujar Prof. Dr. HM. Quraish Shihab, ahli tafsir Al-Qur’an, dan,“Mansyur Ramly termasuk figur yang dapat mengkombinasikan institusi akademi, birokrasi, organisasi, dan insting politik. Sebuah subjek yang dapat mensejahterakan rakyat Sulsel” kata M. Jafar Hafsah, elit DPD Partai Demokrat. Hebat nian pencitraannya.

Ada juga satu berita yang membuat saya sedikit tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala setelah membacanya, yaitu berita berjudul “Mubyl Ceramah di HMI” yang terdiri dari 3 paragraf. Paragraf pertama dan kedua menjelaskan tentang kandidat wakil gubernur Mubyl Handalig, pasangan Azis Kahar yang berceramah dalam acara Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Menurut Ketua Bidang Hukum dan HAM Badko HMI Sulselrabar M. Aries Yasin, kehadiran Mubyl dalam acara yang digelar oleh PB HMI dengan Komisi Yudisial tersebut, dalam kapasitas Mubyl sebagai Ketua Korps Alumni HMI (KAHMI) Sulsel. Namun di akhir paragraf ditulis, ”Secara kelembagaan HMI memang tidak mendukung Pak Mubyl. Tapi secara emosional, semua kader tentu akan condong kepada beliau”ujar Aries.

Inilah yang membuat senyum saya merekah. “Oh, berita dukungan ternyata…”

Demikianlah contoh berita beserta komposisinya dalam rubrik politik harian Tribun Timur yang saya amati dalam sepekan. Ini tentu pengamatan sederhana saja, sebagai pembaca koran. Saya pun menyimpulkan, nyaris tidak ada berita yang “mencerahkan” para pembaca, yang mendominasi adalah apa yang saya istilahkan “berita obat bius” yang mengutip omongan dan janji para kandidat dan fanatisme pendukung mereka. Sekali lagi, ini ulasan pribadi saya, seorang pelajar yang setiap pagi membaca koran yang gencar mengabarkan Pilkada, seorang warga yang tidak luput dari kampanye ketiga kandidat di semua ruang publik, di semua media dan saluran komunikasi. (p!)

*Citizen reporter M. Arief Al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Sang Juara Lomba APBN tingkat Nasional


Mutiara Hapsari, sang Jawara Lomba Artikel APBN Tingkat Nasional 2008. Siswi kelas XII IPA 5 SMAN 1 Makassar ini mengaku gak sempat belajar Kimia loh gara-gara persiapan tersebut. "Wah, stres banget! Setiap waktu yang saya pelajari materi-materi lomba APBN, padahal saat itu bakal ada ujian Kimia lagi," ujarnya.Namun dengan persiapan hanya satu minggu dan berkat dukungan plus bantuan dari sang ayah, semuanya bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.Selama berlomba di Jakarta ada banyak pengalaman seru yang didapatkan keempat anak muda berprestasi ini. Sebelum bertanding dengan tim dari delapan kota lainnya, ternyata utusan Kota Makassar merupakan salah satu peserta yang diunggulkan setelah Pekanbaru."Kami gak terlalu nervous, karena kita merasa pergi bertanding dengan persiapan yang lebih dari cukup. Bahkan waktu di sana ternyata banyak juga yang mnejagokan tim kita," cerita Azhar yang diamini oleh kedua temannya.Doa dan support menjadi kunci keberhasilan bagi mereka. Tetesan air yang tak terbendungkan dan perasaan haru bercampur bangga sempat menyelimuti mereka saat malam penobatan waktu itu. "Awalnya kita hanya bertarget juara III, eh malah dapat juara I. Alhamdulillah banget," .Mutiara pun sangat bersyukur karena selama lomba berlangsung dirinya sedang sakit sariawan. Bahkan sempat harus menahan sakit berbicara saat presentasi di hadapan dewan juri. "Alhamdulillah semua berkat Allah SWT," tandasnya.setelah sukses mengantarkan Mutiara Hapsari dari SMAN 1 Makassar sebagai juara satu lomba menulis artikel dan Azhar Lagarenna cs dari SMAN 5 sebagai juara satu lomba debat tingkat nasional pada Lomba Membaca APBN 2008 tingkat SMA, tahun ini Fajar bekerjasama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, kembali menggelar penyisihan Lomba Membaca APBN 2009.

Selasa, 24 Maret, digelar technical meeting di Lantai 4 Fajar Graha Pena. Hadir panitia pusat yang juga Ketua SPS Pusat Asmono Wikan yang menjelaskan bagaimana tekhnis lomba. Menurut Asmono, lomba tersebut bertujuan meningkatkan minat membaca generasi muda. Selain itu diharapkan para generasi muda itu memiliki kesadaran, pengetahuan dan pikiran kritis mencermati isi APBN tersebut.

Ketua Panitia Lokal Makassar, Irwan Zainuddin mengungkapkan, kegiatan penyisihan untuk wilayah Makassar, akan digelar 1 Mei mendatang. Jika tahun lalu pesertanya hanya dari lingkup Kota Makassar, kali ini kata Irwan, pesertanya juga berasal dari luar kota seperti, Palopo, Barru, Parepare, serta Sinjai.

Peserta yang terdaftar kata Irwan sudah 45 sekolah. Sekolah yang menang dalam penyisihan tersebut, akan mewakili Sulsel ke tingkat nasional yang rencana digelar Juni 2009.

Dalam technical meeting, Asmono Wikan menjelaskan, ada lima tema yang disiapkan dalam lomba membaca APBN tersebut, yakni, anggaran pendidikan di APBN, subsidi BBM di APBN, komposisi pembiayaan di APBN, reformasi birokrasi Departemen Keuangan, dan upaya menggenjot pajak di APBN. Peserta bebas memilih salah satu tema tersebut.

Menurut Asmono, untuk lomba artikel, judul bebas sesuai tema, jarak 1,5 spasi, minimal 3 halaman di luar halaman biodata dan daftar pustaka, menggunakan font Times New Roman ukuran 12, dan dikirim via email ke olimpiadeapbn@spsindonesia.or.id dan olimpiadeapbn@yahoo.com.

"Kami tidak menerima naskah yang dikirim melalui surat, harus melalui email dan paling lambat diterima 28 April," ujar Asmono.

Sementara untuk lomba debat, tema ditentukan moderator. Dalam lomba debat kali ini, panitia memberlakukan sistem peringkat atau rangking. "Dalam penyisihan, kita akan ambil sepuluh besar, jadi tidak menutup kemungkinan ada lebih dari satu peserta yang bisa mewakili satu daerah," ujar Asmono.

dikutip dari : http://sman1mks.sch.id/html/index.php?id=berita&kode=8

Pendidikan Benar-benar Gratis di SR Cakrawala

:: M. Arief Al-Fikri ::


Murid dan guru SR Cakrawala.
Foto: Dokumentasi SR Cakrawala.


Berangkat dari kegalauan melihat makin tidak terjangkaunya biaya pendidikan bagi masyarakat kelas bawah, tiga remaja putri aktivis IJABI (Ikatan Jemaah Ahlul Bayt Indonesia) Sul-Sel merintis Sekolah Rakyat (SR) Cakrawala di kawasan Tamalanrea Makassar. Sekolah alternatif yang baru berjalan satu tahun ini mendapat sambutan hangat dari para orang tua yang tak mampu menyekolahkan anak, meski tak sedikit juga cemoohan dan kecurigaan yang harus dihadapi para pengelolanya. Berikut laporan citizen reporter M. Arief Al-Fikri (p!)
SR Cakrawala menempati sebuah gedung sederhana yang belum rampung di Jalan Perintis Kemerdekaan 6 No. 20. Gedung itu adalah bangunan multifungsi yang digunakan oleh komunitas IJABI Sul-Sel. Di bangunan inilah SR Cakrawala “numpang” menyelenggarakan kegiatan belajar mengajarnya 3 kali seminggu, yakni Senin, Rabu dan Sabtu, pukul 4-6 sore.

SR Cakrawala yang pada tanggal 10 Juni lalu genap berusia setahun, diprakarsai oleh tiga orang anggota Fathimiyyah IJABI Sul-Sel, yaitu Nida, Darma, dan Imha. “Tidak tahu kenapa ide untuk mendirikan SR ini tiba-tiba muncul, karena waktu itu kami bertiga hanya kumpul-kumpul dan cerit-cerita seperti biasanya di kamar saya,”ujar Darma. SR tersebut didirikan ketiganya sebagai wujud kepedulian ketiga aktivis ini untuk menyediakan pendidikan yang gratis dan berkualitas.

Awalnya, sekolah informal yang bernaung di bawah Yayasan IJABI Sul-Sel ini bernama Unlimited School. Namun karena murid-muridnya sulit untuk menyebutkan nama ini, maka diubahlah menjadi Sekolah Rakyat Cakrawala, yang berarti sudut pandang yang luas.

Selain perubahan nama sekolah, masih ada beberapa perubahan yang terjadi di SR Cakrawala, di antaranya bertambahnya jumlah murid dari 18 orang sekarang berjumlah 25 orang. Sayangnya tenaga pengajar yang mulanya ada 4 orang, kini karena kesibukan masing-masing, hanya tersisa 2 orang, yakni Lia dan Darma. “Itu pun saya sekarang sudah mengajar di Al-Biruni, jadi kayaknya teman saya, Ai, yang akan menggantikan saya.” ujar Darma yang juga asisten wali kelas di SDIT Al-Biruni Makassar.

Darma menuturkan, selama setahun ini banyak tantangan yang mereka hadapi ketika memulai kegiatan belajar mengajar alternatif ini. Pada awal hadirnya SR Cakrawala di lorong yang kiri kanannya didominasi oleh rumah kos mahasiswa warga sekitar menyambut antusias dan senang. Selain gratis 100 persen dan tidak pernah ada pungutan dari pihak sekolah kepada orang tua murid, anak putus sekolah pun mendapatkan alternatif untuk melanjutkan kegiatan belajarnya.

Tantangan mulai dihadapi Darma dan kawan-kawan ketika sikap kontra bermunculan dari sejumlah warga. Ada warga yang curiga bahwa pengelola SR Cakrawala mengeksploitasi anak-anak didik mereka dengan mengatasnamakan sekolah rakyat untuk meminta sumbangan pembangunan gedung itu.

Padahal kata Darma, “Dana yang digunakan untuk keperluan Gedung Panrita, kegiatan sekolah dan lain-lain adalah murni dari dana Yayasan IJABI Sul-sel dan kerabat atau sanak keluarga yang sesekali memberikan donasi.”

Untuk menghapus kecurigaan segelintir warga, pihak pengelola senantiasa berusaha menjelaskan segala kegiatan dan juga pendanaan SR Cakrawala.

Sistem belajar berbeda
Sistem belajar mengajar yang diterapkan di SR Cakrawala berbeda dengan sekolah-sekolah formal. Tidak dikenal adanya daftar absensi, melainkan hanya ada kartu kontrol atau disebut juga dengan kartu prestasi siswa yang fungsinya untuk mengetahui signifikansi perkembangan siswa, baik dari segi afektif, kognitif, pola pikir, pola hidup, dan sebagainya. Selain itu, kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

Kelasnya pun dibagi dalam 2 kategori, yakni kelas pra sekolah dan kelas usia sekolah. Mata pelajaran yang diajarkan di kelas pra sekolah adalah membaca, menulis, berhitung, bahasa Inggris, etika, dasar-dasar agama, sosial dan sains. Menariknya, dalam pelajaran sosial, pra murid biasanya disuruh bercerita mengenai dinamika sosial di sekitar mereka, seperti kemiskinan, lalu kemudian menuliskannya.

Sementara untuk pelajaran sains, biasanya mereka diajak berdiskusi ringan seputar berbagai peristiwa alam; penyebab-penyebabnya, cara mencegahnya, dan sebagainya. Selain itu, para murid juga disuguhi permainan scrabble bahasa Indonesia dan puzzle angka agar mereka bisa bermain sambil belajar.

Sedangkan di kelas usia sekolah, selain diajarkan juga mengenai pelajaran sosial dan sains seperti di kelas pra sekolah, mereka lebih difokuskan pada pengembangan diri, misalnya drama, tari, menggambar, serta bernyanyi, dan pemantapan pelajaran mereka di sekolah formal. Salah satu nilai plus di SR Cakrawala bagi anak-anak yang juga mengecap pendidikan formal, karena mereka bisa membawa PR dari sekolah untuk dikerjakan di sekolah rakyat dengan bimbingan guru-guru di sekolah tersebut.

Namun pelajaran yang menjadi prioritas utama di SR Cakrawala adalah pembinaan etika, ahlak, dan mental agar semua murid-muridnya tumbuh menjadi manusia yang ‘berkarakter’. Darma dan guru lainnya mengakui bahwa referensi mereka dalam menerapkan metode belajar mengajar seperti ini adalah Quantum Learning dan SMU Plus Muthahahhari Bandung.

Soal etika dan pembinaan karakter ini dimulai dari hal-hal kecil yang diperkenalkan kepada para murid. “Bahkan kami ikut anak yang dulunya malas mandi, akhirnya jadi rajin mandi setelah kami memberitahu pentingnya kebersihan dan kesehatan,” tutur Darma.

Bahkan bagi para murid yang umumnya berasal dari keluarga kalangan bawah ini pun diperkenalkan konsep rekreasi, yang diadakan di danau Kampus Unhas Tamalanrea. Sayangnya, masih ada satu rencana pihak SR Cakrawala yang hingga detik ini belum terealisasi dikarenakan kurangnya dana, yaitu kegiatan pembagian susu gratis untuk murid-murid SR.

Kini, setelah berjalan satu tahun. SR Cakrawala makin mantap menjalankan misi pendidikan membina anak-anak tumbuh cerdas dengan hati nurani.

Marikar, siswa kelas 3 SD Kampus Unhas 1, yang bersama dua orang temannya tercatat sebagai murid SR Cakrawala merasa senang mendapatkan tambahan ilmu dan juga berbagai macam permainan di sore hari. (p!)

*Citizen reporter M. Arief Al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Perempuan-Perempuan Pasar Terong

:: M. Arief Al-Fikrie ::

Citizen reporter M. Arief Al-Fikrie mengaku sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk pasar tradisional karena tempat tinggalnya memang dekat dari Pasar Terong, Makassar. Di antara begitu banyak cerita tentang kehidupan di pasar itu, ia menemui sejumlah perempuan yang berdagang daun bawang, dan mendengarkan kisah-kisah mereka, meski sekilas. Ia menangkap kesan, pedagang ini adalah para perempuan perkasa, namun kadang-kadang juga tak lepas dari rasa jenuh.(p!)
Saya dibesarkan di lingkungan pasar tempat keluarga saya bermukim selama hampir 20 tahun. Tepatnya di Jalan Mentimun, sekitar Pasar Terong, Makassar. Sejak kecil, saya sudah terbiasa dengan suasana pasar; rutinitas penjual dan pembeli, puluhan tenda dan seng yang menaungi tempat-tempat jualan, hiruk-pikuk pasar, juga sampah-sampah yang berserakan. Saya juga kerap melihat ibu-ibu dan remaja puteri beradu keringat berdagang di pasar itu.

Suara-suara kaum perempuan ini sudah akan terdengar sejak pagi buta, yakni pukul 3 dini hari. Mereka meramaikan kawasan pasar dengan aktivitasnya masing-masing. Mereka hanya perempaun sederhana, tidak banyak bersolek, seperti para pegawai kantoran. Tampaknya, berjualan di pasar tradisional merupakan alternatif tersendiri bagi mereka, sebab tidak memerlukan ijazah sekolah, meski pekerjaan yang harus dilakukan tidaklah mudah.

Seorang di antaranya, Hj. Leda, berjualan daun bawang tepat di samping basement pasar. Ia datang ke pasar di pagi buta, naik pete-pete dari rumahnya di Jalan Sukaria 11, kurang lebih 4 km dari Pasar Terong. Ini adalah pete-pete khusus yang mengangkut para pedagang yang tinggal di Jalan Sukaria, Jalan AP Pettarani dan sekitarnya, menuju Pasar Terong. Sewaktu kecil, saya pun sering ikut pete-pete yang mengangkut para perempuan ke tempatnya bertarung mencari nafkah.

Saban hari, Hj. Leda terlihat sibuk mengupas, menimbang, dan mengikat daun bawang sebelum dijual. Jumlahnya bisa mencapai 50 kg, atau paling sedikit 30 kg.

Hal serupa juga dilakukan Hj. Ajo. Tapi Hj. Ajo sanggup menyiapkan daun bawang hingga 90 kg perhari. Padahal ia memiliki seorang balita dan suami yang harus diurus. Makanya, Hj. Ajo biasanya datang ke pasar lebih awal, yakni pukul 3.30 dini hari. Sebelum berjualan, terlebih dahulu dia mengambil barang dagangan ke teman seprofesinya.

Sebelum berjualan daun bawang, kedua perempuan ini memiliki usaha masing-masing. Hj. Leda membuka usaha jahitan di rumahnya, sedangkan Hj. Ajo berprofesi sebagai penyedia berbagai macam minuman, seperti teh, kopi, susu, kopi susu, dan sebagainya di pasar yang sama. Namun, sejak tahun 1998, usaha keduanya gulung tikar. Mereka banting setir setelah ada pedagang dari Malino yang menawarkan kerja sama berdagang daun bawang. Kebetulan waktu itu tersedia lahan di Pasar Terong yang tak terpakai, yang dimiliki oleh adik Hj. Leda. Adik Hj. Leda ini adalah ibu kandung saya.

Pekerjaan mereka sekarang lebih menjamin dibanding usaha sebelumnya. Harga daun bawang berkisar antara Rp2000 hingga Rp2.500 per kilogram. Dengan modal Rp1.000 per kilogramnya, Hj. Leda bisa untung hingga Rp70.000 perhari jika berhasil menjual sekitar 50 kg daun bawang. Keuntungan lebih besar bisa diraih Hj. Ajo, sampai Rp13.5000 perhari kalau bisa menjual 90 kg.

Lain lagi kisah Daeng Mantang dan Daeng Marawang yang merupakan ”pegawai bawang” (sebutan oleh majikannya). Setiap hari mereka bekerja sebagai pengupas dan penggoreng bawang merah untuk seorang pedagang bawang dan rempah-rempah. Daeng Mantang yang mulai beraksi pukul 7.30 pagi, biasanya menggoreng bawang merah sebanyak 16 kg per hari. Sedang Daeng Marawang masih sanggup mengupas 5 hingga 6 kg bawang merah dengan upah Rp200 per kg, meski usianya sudah 70 tahun.

Selain berkiprah di ranah publik para perempuan tangguh tersebut juga tidak luput dari tugasnya setiap hari di ranah domestik. Hj. Leda misalnya, sepulang dari pasar masih bercucur keringat kembali mengurusi pakaian kotor dan kebersihan rumahnya. Begitu juga dengan Hj. Ajo, yang setelah menikah dan mempunyai seorang anak, peran yang mesti dijankannya semakin bertambah.

Masih ada puluhan perempuan perkasa lainnya di Pasar Terong, baik muda maupun tua. Ada yang menjual nasi kuning, kue, telur, keripik, minyak tanah, bahkan ada yang bekerja sebagai tukang sampah. Meskipun sibuk di pasar, mereka tidak mengesampingkan tugas sebagai ibu rumah tangga (bagi yang telah menikah).

Mengeluhkah mereka? Kadang-kadang. “Saya sempat berpikir, lebih baik pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah keponakan yang sudah jadi dokter untuk bantu-bantu memasak, membersihkan rumah, atau mencuci pakaian,” tutur Hj. Leda. Wanita lajang ini mengaku bosan melihat tingkah laku keponakan yang tinggal di rumahnya, karena mereka sering malas membantu pekerjaan rumah. Belum lagi bila tiga orang keponakannya itu menuntut uang jajan. “Kalau marah, saya biasa menyuruh mereka pulang saja ke bapaknya di Bulukumba,” tutur Hj. Leda.(p!)

*Citizen reporter M. Arief Al-Fikrie dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Tukang Becak Cilik, Memanfaatkan Becak Bapak

:: Muhammad Arief Al-Fikri ::

Citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri, siswa SMAN 1, merasa terkesan dengan kisah seorang tukang becak cilik yang ditemuinya di Tamalanrea. Ia membagi wawancara singkatnya dengan Marikar, tukang becak cilik yang ditemuinya pekan lalu. Tidak seperti halnya pekerja anak yang sering dikabarkan dipaksa bekerja, Marikar mengaku mengayuh becak atas inisiatif sendiri, tanpa paksaan orangtua, dan dilakukannya di sela waktu bermain dengan teman sebayanya. (p!)
Tukang becak cilik itu bernama Marikar. Ia duduk di kelas 3 sekolah dasar. Penampilannya tampak lusuh. Sehari-hari ia dapat ditemui di Jalan Perintis Kemerdekaan 6, Tamalanrea. Sehari-hari, saya sudah sering melihat tukang becak cilik sepertinya, tapi hanya sepintas. Inilah pertama kalinya saya mengenal lebih dekat seorang di antaranya.

Bapaknya tukang becak, jadi kadang ia pun membantu mencari penumpang. Bila sang ayah istirahat, Marikar yang mengambil inisiatif memanfaat becak yang “nganggur “ itu. Waktu yang paling sering dimanfaatkannya untuk bekerja adalah sepulang sekolah, sekitar sore hari.

Dengan badannya yang kecil dan kaki yang belum mantap menginjak sadel untuk mengayuh, Marikar mengaku hanya bisa memperoleh sekitar Rp8.000 per hari dari jerih payahnya mengantar penumpang. Penghasilan bapaknya, tentu bisa lima hingga enam kali lipat dari uang yang dihasilkan Marikar, namun dengan hasil yang kecil itu pun ia mengaku sudah senang. “Kalau jalannya naik (menanjak –ed), saya belum bisa mengayuh, jadi becaknya harus didorong. Tapi kalau jalannya rata atau menurun, bisa ji” tuturnya.

Apakah Marikar dipaksa oleh orangtuanya bekerja sebagai tukang becak? Dari cerita yang diungkapkannya, ia dengan polosnya mengaku pekerjaan itu dilakukannya atas kehendak sendiri. Tujuannya untuk menambah penghasilan keluarga, dan alasan itu tadi: “Daripada becak bapak menganggur, lebih baik saya pakai cari lurang (penumpang).”

Bagi Marikar, keahlian mengayuh becak dipelajarinya secara alamiah, dengan memerhatikan cara bapaknya mengayuh kendaraan tiga roda itu. Sebagai tukang becak cilik, ia mengatakan hanya melayani jarak pendek, semisal dari ujung jalan Perintis Kemerdekaan menuju ke jalan kecil atau gang di sekitar Jalan Perintis Kemerdekaan 6. Tawar menawar harga pun dipelajarinya dengan memerhatikan bagaimana bapaknya menetapkan harga tertentu untuk melayani jarak pendek. “Tapi ya itu, kalau saya yang bawa ini becak, pasti capek sekali rasanya kalau harus lama-lama, karena masih kecil.”

Seperti anak seusianya, Marikar juga sangat senang bermain. Sepulang dari sekolahnya, SD Kampus Unhas 1, ia juga memanfaatkan sebagian waktunya bermain dengan sahabatnya, selain mengayuh becak. Hari itu, saat saya menemuinya, ia asyik bermain dengan Ade dan Wahyu.

Dari kedua sahabatnya inilah saya mengetahui bahwa Marikar pernah tinggal kelas saat duduk di kelas satu. Alasannya? Kali ini Marikar yang menjawab sendiri, “Waktu itu, saya nakal sekali, jadi tidak naik kelas. Tapi sekarang, saya sudah rajin mi...”

Ia memang kini sudah berubah menjadi anak yang gemar belajar. Marikar dan dua sahabatnya ini juga menimba ilmu di sebuah sekolah alternatif yang didirikan di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan 6, yang bernama “Unlimited School”. Sekolah alternatif ini didirikan sejumlah relawan yang memberikan pendidikan gratis dengan metode belajar yang berbeda dari sekolah umumnya. Di sekolah alternatif itu misalnya, ia belajar bahasa Inggris dan mengaku sangat senang dengan pelajaran menggambar.

Marikar bercerita bahwa kebutuhan keluarganya dipenuhi oleh ayahnya yang bekerja sebagai tukang becak dan ibunya yang bekerja sebagai penyanyi orkes, yang biasa menjajakan suaranya di pesta perkawinan. “Kalau saya, ya bantu-bantu ji goyang becak, kalau bapak istirahat,” katanya.

Barangkali karena sudah belajar sejak kecil betapa sulitnya mencari nafkah, Marikar yang lugu itu, terkesan seperti orang dewasa ketika mengomentari kondisi kehidupan sehari-hari. Ia misalnya secara spontan berkata, “Sekarang, sudah mahal harga kue. Dulu, saya bisa beli kue seharga tiga ratus rupiah , eh sekarang harganya sudah jadi lima ratus. Mahal ya..”

“Jadi sudah jarang makan kue?” tanyaku.

Lagi-lagi ia menjawab dengan polos bahwa bila ibunya yang beli kue tentu akan dimakannya. Tapi kalau ia sendiri yang harus beli, harus pikir-pikir dulu, karena harganya yang sudah terasa mahal itu. (p!)

*Citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Siswa Perokok, Siswa Nakal?

:: Fenny Kristanti ::

Seorang siswa SMA Negeri I Makassar beberapa waktu lalu kepergok oleh salah seorang guru sedang merokok di tempat parkir motor pada saat jam pulang sekolah. Siswa tersebut memang termasuk yang mendapat perhatian khusus dari guru Badan Konseling. Tertangkap basahnya siswa kelas XI itu menjadi topik perbincangan hangat di antara siswa lainnya, sebagaimana dilaporkan citizen reporter Fenny Kristanti, yang juga salah seorang siswa di sekolah favorit itu.(p!)
Dari hasil diskusi ringan antarsiswa di sela-sela jam istirahat terungkap bahwa banyak siswa lainnya yang merokok di sekolah favorit ini. Salah satu hal yang mengemuka dalam diskusi ini adalah: “Apakah siswa yang merokok itu bisa dikategorikan siswa nakal?” Selvi salah seorang siswi berpendapat, “Teman-teman yang merokok itu baek-baek ji sama kita-kita teman sekelasnya. Mereka itu yang biasanya bikin orang ketawa dalam kelas. Memang kalau di luar banna’ (nakal –ed), tapi kalau sama teman-teman kelasnya tidak ji.”

Berdasarkan pengamatan sederhana saya, teman-teman sekelas yang merokok memang sifatnya seperti itu. Mereka sangat pandai mencairkan suasana kelas yang tegang, mereka pandai bergaul. meski untuk masalah prestasi belajar, beberapa di antara mereka tidak begitu pusing akan nilai-nilainya. Nanti “kebelet” barulah mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai agar bisa naik kelas.

Di sekolah kami, tempat yang paling sering dikunjungi oleh teman-teman yang perokok adalah WC pria. Di sanalah berkumpul siswa-siswa perokok dari berbagai kelas. Dalam salah satu pengamatan saya memperkirakan jumlah mereka sekitar 10 orang lebih.

WC di sekolah saya pintunya sudah ada yang bolong. Jadi bila saya kalau lewat di dekat WC pria menuju ke kantin di jam istirahat, terciumlah bau asap rokok dari WC tersebut. Para siswa ini tidak hanya merokok di jam istirahat, bahkan saat jam pelajaran pun ada yang berani menyempatkan diri ke WC untuk merokok. Pertanyaan yang sering mengganggu saya, apakah tidak ada seorang guru pun yang mencium bau asap rokok dari WC tersebut? Padahal pada jam istirahat pasti ada saja guru yang datang ke lantai 2 atau kelas XI.

Pada saat saya masih duduk di kelas IX, ada sebuah kelas yang juga digunakan sebagai tempat merokok pada saat jam Pengembangan Diri pada hari Jumat (Pengembangan Diri dilakukan di laboratorium yang tersedia dan kelas-kelas lainnya). Kelas itu bernama kelas X-9. Ruangan Kelas X-9, memiliki jendela depan yang tidak lengkap. Nah, dari jendela itulah siswa perokok memanjat masuk ke kelas.


Siswa SMA merokok di dalam angkot.
Foto: Fenny Kristanti.


Kebiasaan merokok di kalangan siswa SMA memang bukan hal baru. Tapi tetap saja menarik perhatian karena bagi para siswa yang bukan perokok, melihat teman-teman yang merokok selalu menghadirkan kekhawatiran. Terutama jika dilihat dampak buruk rokok bagi kesehatan.

Di setiap iklan rokok, selalu ada peringatan, misalnya, “Rokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan dan janin.” Saya seringkali mendengar peringatan ini di iklan televisi dan radio. Saya juga melihatnya di belakang bungkusan rokok ayah saya yang juga seorang perokok.

Ternyata selain penyakit-penyakit yang disebutkan di atas, rokok juga dapat menyebabkan Osteoporosis atau pengeroposan tulang. Penyebabnya adalah kandungan dari rokok yang tidak terdengar asing lagi di telinga saya yaitu nikotin. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa nikotin sering disebut-disebut di iklan-iklan rokok karena nikotin adalah bahan yang terkandung di dalam rokok yang paling berbahaya bagi kesehatan.

Penyakit Osteoporosis belum dirasakan pada masa pertumbuhan tulang, tapi apabila telah mencapai usia 35 tahun atau masa pertumbuhan tulang sudah terhenti barulah penyakit ini dapat dirasakan. Gejalanya yaitu tulang lebih mudah ngilu, letih dan bahkan sakit. Menurut salah satu sumber, Indonesia adalah negara yang mendapat urutan ke-2 dunia pengidap Osteoporosis akibat merokok. Urutan pertama diduduki oleh China.

Saya pernah membaca artikel tentang perokok di internet. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa untuk menghilangkan kebiasaan merokok dapat dilakukan dengan cara yang tidak membutuhkan bantuan medis sedikit pun. Beberapa caranya adalah rajin bergerak, mengkonsumsi makanan bergizi dalam takaran seimbang, rutin berolahraga, serta membiasakan terkena sinar matahari pagi dan sore. Dan yang paling penting dan tidak boleh terlupakan adalah kemauan untuk menghilangkan kebiasaan merokok. Jadi semua tergantung pada tekad dan kemauan untuk berhenti merokok.

Apakah Anda seorang perokok berat ataupun perokok yang biasa-biasa saja? Anda dapat menggunakan beberapa cara di atas. Tapi bisa juga dengan mencoba cara terakhir yakni mengganti rokok dengan rokok berisi coklat bubuk yang banyak dijual. Siapa tahu lebih nikmat rasanya dibandingkan dengan rokok asli.(p!)

*Citizen reporter Fenny Kristanti dapat dihubungi melalui email fenny_git2ndgig@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Kerjasama Yes, Kompetisi No!

:: Fenny Kristanti ::


Salah satu kegiatan diskusi Youth Camp 2008 di Bulukumba.
Foto: Dokumentasi Rumah Kamu.


Citizen reporter Fenny Kristanti, siswi SMAN 1 Makassar yang mengikuti program Youth Camp 2008 yang diselenggarakan Rumah Kaum Muda, Makassar membagi pengalamannya mengenai pendidikan alternatif yang membuka wawasan dan kesadarannya sebagai seorang pelajar. Salah satu yang dipelajarinya selama sebelas hari tinggal di desa, bahwa kegiatan belajar berbasis kerjasama jauh lebih efektif dan menumbuhkan kepercayaan diri, dibandingkan metode pengajaran yang berbasis kompetisi semata. (p!
Wow! Itulah kata yang tepat untuk mengekspresikan perasaan saya. Bersama 19 siswa-siswi SMA dari berbagai sekolah se-Sulsel, saya mengikuti Youth Camp, program tahunan Rumah Kamu (Rumah Kaum Muda), berupa pendidikan alternatif dalam bentuk penelitian lapangan. Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti program penelitian untuk remaja yang dilaksanakan di luar daerah.

Program ini berlangsung dari tanggal 5-16 Januari 2008 lalu. Youth Camp tahun ini mengambil lokasi di Bulukumba. Tepatnya di Dusun Bogo dan Tatturaeng, Kelurahan Ekatiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Untuk mencapai tempat ini, kami menempuh perjalanan sekitar 6 jam dari Makassar. Daerah ini berada di pesisir pantai, namun mata pencaharian penduduknya lebih dominan bertani dan berkebun. Selama 8 hari kami tinggal di dusun tersebut bersama para penduduk yang menjadi orang tua angkat.

Kami dibagi ke dalam beberapa kelompok penelitian sesuai minat masing-masing dan didampingi oleh dua orang fasilitator. Bidang-bidang penelitian untuk Youth Camp 2008 ini adalah sejarah lokal, mata pencaharian, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan pemanfaatan SDA (sumber daya alam). Saya sendiri adalah salah satu anggota dari kelompok penelitian bidang pendidikan. Saya dan ketiga orang teman saya; Andi Nurfadillah (SMAN 3 Watan Soppeng), Samriana dan Aksan Surya Wijaya (SMAN 5 Pare-Pare) kemudian mendiskusikan hal apa yang menarik perhatian kami sehingga memilih masuk dalam penelitian bidang pendidikan. Dan pertanyaan yang tepat untuk menggambarkan pusat perhatian kami adalah “Apakah yang diajarkan di sekolah dan fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh sekolah tersebut memiliki benang merah dengan cita-cita siswa itu sendiri?” Untuk menjawab pertanyaan itu maka dibentuklah kelompok penelitian bidang pendidikan.

Sungguh pengalaman yang sangat berkesan bagi saya saat mewawancarai para siswa siswi SDN 138 Basokeng, SMPN 1 Bontotiro, MTsN 1 Bontotiro, dan SMAN 1 Bontotiro. Mewawancarai pelajar berbagai usia! Ini belum pernah terjadi dalam hidup saya. Di sekolah saya di Makassar, saya memang pernah mewawancarai anak SMA. Tapi saya sama sekali belum pernah mewawancarai anak SD. Kata-kata yang kami gunakan haruslah sesederhana mungkin agar mereka dapat mengerti pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Saya juga harus menerapkan model SKSD (sok kenal, sok dekat) dengan anak-anak SD tersebut. Sama halnya dalam mewawancarai siswa dan siswi SMP, MTs dan SMA.

Saat saya dan ketiga orang teman saya datang ke sekolah-sekolah tersebut, kami bagaikan artis yang dikerumuni penggemar. Setiap kami berjalan, rasa-rasanya kami selalu menjadi pusat perhatian. Entah mengapa hal itu bisa terjadi. Mungkin karena sudah ada pengumuman dari pak Camat di sana bahwa kami akan datang ke sekolah-sekolah di desa itu. Atau mungkin karena ada adik angkat kami yang bersekolah di sekolah itu dan menceritakan bahwa kami bukanlah orang dari daerah tersebut.

Dari hasil wawancara, kami mendapatkan banyak informasi yang cukup membuat saya dan teman-teman kaget. Di antaranya mengenai upaya pemerintah setempat untuk mengatasi maraknya penggunaan ponsel. Pak Camat setempat ternyata turun langsung ke sekolah-sekolah menyampaikan sebuah aturan yang melarang siswa-siswi di kecamatan itu membawa ponsel ke sekolah! Banyak hal lainnya yang kami dapatkan dari hasil mewawancarai para siswa itu. Yang jelas, dari hasil obrolan itu tampak bahwa meski mereka tinggal di desa, tapi soal cita-cita dan berbagai informasi gaya hidup, misalnya, mereka tidak kalah dengan pelajar di kota besar.

Apa yang saya dapatkan dari Youth Camp? Saya merasakan suasana belajar yang demikian bebas. Selama 11 hari saya menjadi siswa SMA yang tidak terlalu mementingkan angka-angka yang harus diraih di sekolah formal. Saya belajar mengenal lingkungan, mengasas kemampuanmenjalin hubungan pertemanan, menumbuhkan rasa peduli dan rasa ingin tahu pada lingkungan.

Setelah mengikuti Youth Camp 2008, pandangan saya tentang desa berubah. Tadinya saya berpikir bahwa orang desa itu kotor, jorok, tidak berpendidikan, miskin, dan orang-orangnya seram. Ternyata saya salah! Mereka ramah, bersih dan juga punya rasa ingin tahu tinggi terhadap kami yang pendatang. Tentu yang paling menyenangkan, karena saya memiliki teman dari berbagai daerah. Saya juga senang dengan tradisi membuat jurnal yang diperkenalkan selama program ini.

Saya belajar untuk mendengar orang lain, bukan hanya mau didengar saja, menghargai pendapat orang lain, dan saya juga belajar untuk bersosialisasi dan mandiri di lingkungan dan orang-orang yang baru. Dan yang paling saya suka dalam Youth Camp ini adalah “Kerja sama ,Yes-Kompetisi No!” yang merupakan motto dari Youth Camp ini. Tidak ada perbedaan antara ketua OSIS atau siswa yang selalu mendapat ranking, dengan siswa yang biasa-biasa saja. Pokoknya semua sama, semua harus percaya diri. Terima kasih Youth Camp, Terima kasih Rumah Kamu!

O, ya saat saya kembali ke sekolah, salah seorang guru sempat salah paham tentang Youth Camp yang saya ikuti. Guru itu berpikir saya mengikuti perkemahan salah satu aliran agama ajaran sesat dan ia sungguh mengkhawatirkan keselamatan saya. Ah, mungkin bapak dan ibu guru di sekolah saya perlu diikutkan Youth Camp berikutnya untuk melihat betapa indahnya pendidikan alternatif yang baru saja saya ikuti.(p!)

*Citizen reporter Fenny Kristanti fenny_git2ndgig@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Diskriminasi beragama di SMANSA

Budi yang Mendamba Toleransi Agama
:: Budi Parabang ::


Budi Parabang di tengah memegang Buku Nyanyian
dalam kebaktian di Gereja Advent Sudiang.
Foto: Andarias P.

Nama saya Budi Parabang, tapi teman-teman sering memanggil saya dengan sebutan Gendu’. Mungkin karena bentuk tubuh saya yang tergolong gendut. Saya adalah bungsu dari 3 bersaudara. Umur saya 16 tahun dan saat ini sedang menuntut ilmu di SMA Negeri 1 Makassar atau yang lebih dikenal dengan Smansa. Setelah berjuang selama setahun akhirnya saya bisa duduk di kelas IPA, tepatnya di kelas XI IPA 4. Saya adalah salah seorang penganut agama Kristen Advent, salah satu agama yang terdengar asing bagi teman-teman saya. Memang populasi kami di Indonesia tergolong sedikit, hanya sekitar 500 jiwa.. Tapi Kristen Advent bukanlah agama lokal melainkan universal atau mendunia.

Dalam Advent, banyak ajaran yang mungkin sedikit berbeda dengan agama Kristen yang lain, namun sebenarnya kami memiliki Alkitab yang sama. Yang membedakan adalah penafsirannya. Advent memiliki banyak larangan, seperti: merokok, minum minuman beralkohol, makan makanan haram(seperti anjing,babi dan sebagainya). Selain itu ada pula hal-hal yang dianjurkan seperti menjadi vegetarian, tidak memakai anting-anting bagi perempuan, serta tidak minum teh dan kopi, sebab berdasarkan hasil riset, dalam kopi terdapat kafein dan di dalam teh terdapat nikotin yang dapat membahayakan tubuh.

Para pemuka agama kami selalu menyeru-nyerukan akan hal ini sebab dalam kitab tertulis: “Tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu,maka muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”. Atas dasar itulah kami disarankan untuk merawat tubuh dari apapun yang dapat merusaknya. Tapi semuanya itu seolah-olah bukan lagi menjadi beban malah menjadi kebiasaan jika dijalankan dengan sungguh-sungguh. Mungkin sebagian orang akan berpikir betapa susahnya menjalani kehidupan seperti itu, tapi sebenarnya bagi saya pribadi itu bukan hal sulit, karena sejak kecil kami sudah terdidik dengan ajaran seperti itu.

Satu hal lagi yang menjadi ciri atau identitas Kristen Advent, yaitu kami beribadah pada hari Sabtu (ber-sabat), bukan hari minggu layaknya Kristen lain. Hari kebaktian kami dikenal dengan Sabat. Sabat terhitung mulai dari matahari tenggelam di hari Jumat sampai pada matahari tenggelam di hari Sabtu. Satu hari itu dikhususkan untuk Tuhan, tiada aktivitas lain kecuali yang berbau rohani. Jadi jika hari Sabat tiba, kami tidak dibenarkan untuk berbelanja, belajar (kecuali belajar dari alkitab), menonton, bahkan memasak. Makanya sebelum Sabat datang, keluarga kami selalu memasak makanan dalam porsi lebih.

Sungguh sebuah pemandangan yang cukup kontras dibandingkan dengan teman-teman lain yang setiap hari Sabtu pergi ke sekolah, bukannya ke tempat ibadah. Di Smansa sendiri,penganut agama Kristen Advent cuma 2 orang yang tidak lain saya dan kakak saya, Heri. Kakak saya sekarang duduk di bangku kelas XII dan sedang mempersiapkan diri menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Tapi sebetulnya sudah banyak alumni Smansa yang beragama Advent.

Sebelum menginjakkan kaki di Smansa, Heri sudah sangat sering bercerita kepada saya tentang keadaan di sekolah itu. Dan sebelum memutuskan mendaftar di Smansa, Heri berkata,“Tidak gampang untuk tetap eksis di Smansa dengan keadaan kita yang seperti ini, dibutuhkan kesabaran dan semangat yang tinggi dan semua keputusan ada di tanganmu. Kamu yang mengambil keputusan artinya kamu harus siap menghadapi segala konsekuensinya.” Dan omongan kakak saya benar-benar saya rasakan sekarang.

Saat memasuki bangku kelas X SMU, saya ditempatkan di kelas X-7. Sempat ada kesulitan memberitahu teman-teman tentang keadaan saya yang tidak bisa masuk sekolah setiap hari Sabtu karena harus mengikuti kebaktian di gereja. Awalnya ada beberapa dari mereka memandang sebelah mata keberadaan saya, bahkan tak jarang cerita miring yang mengatakan saya beragama aneh, fanatik, malah ada yang bilang: “Enaknya tidak belajar tiap hari Sabtu”, dan masih banyak lagi.

Suatu kali seorang pembimbing bertanya, “Memang sama sekali tidak boleh ke sekolah kah?” Lantas saya menjawab, “Ibadah itu bukan satu hal yang bisa ditunda-tunda Bu.”

Selang satu setengah bulan belajar, saya merasa teman-teman mulai menerima keberadaan saya, malah mereka selalu mendukung saya. Misalnya saja untuk pelajaran di hari Sabtu yang tidak saya ikuti, mereka dengan senang hati mau meminjamkan catatan, bahkan mengajari sampai mengerti. Di situlah saya merasa bahwa biarpun kami adalah kaum minoritas bukan berarti kami disisihkan oleh teman-teman. Tapi salah seorang teman kelas di kelas X-7 pernah berkomentar, “Setengah matimu itu tidak masuk kelas setiap hari Sabtu, apalagi kalau ada ulangan! Daripada susah-susah, lebih baik kamu pindah agama. Daripada banyak angka merahmu! Bagaimana?”

Namun menurut saya, toleransi tampaknya tak berlaku rata bagi setiap guru. Saya tidak tahu mengapa mereka seolah menutup mata. Dalam lingkungan sekolah, saya merasa kejelasan yang diberikan belum pasti sehingga membuat saya bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya, tidak tahu harus berbuat apa. Atas dasar itu saya dan ayah mengurus surat izin dari pihak gereja untuk diberikan kepada Kepala Sekolah dan guru-guru yang mengajar di hari Sabtu.

Saat memberikan surat itu kepada Drs Herman Hading Mpd, kepala sekolah saya, ia berkomentar: “Saya pribadi mengizinkan tapi kamu harus bicara dengan guru-gurumu. Juga usahakan tugasmu masuk terus! Soal kehadiran, negosiasikan dengan guru-guru bidang studimu.”

Lantas saya pun menghubungi guru-guru saya satu persatu. Namun yang saya dapatkan dari mereka hanya komentar yang tidak jelas arahnya. Saya sungguh merasa stres saat itu apalagi ada mata pelajaran yang cuma ada di hari Sabtu, seperti Sejarah dan Kesenian. Akhirnya saya memutuskan melupakan itu semua dan membuat kebijakan sendiri dalam artian tidak memikirkan pelajaran di hari Sabtu.

Dan bisa ditebak apa yang terjadi, pada saat pembagian rapor di akhir semester 1, ada 2 mata pelajaran yang mendapat nilai merah. Ayah saya marah besar saat itu. Guru-guru saya memang mengizinkan saya beribadah tapi tidak memberikan solusi yang baik untuk nilai-nilai saya. Contohnya saja, saya pernah disuruh guru kesenian untuk memperbaiki nilai-nilai saya yang merah lantaran tugas-tugas saya tidak pernah masuk di hari Sabtu dengan membeli buku yang harganya lebih Rp200.000. Saya tidak tahu buku apa yang bisa semahal itu karena saya hanya disuruh menyetor uang dan guru saya sendiri yang membelinya. Tapi setelah nilai saya keluar di rapor, saya tetap saja mendapat nilai merah tepatnya 27.


Rapor pun merah di semester 1.
Foto: Budi Parabang.

Akhirnya di semester 2 saya mencoba memperbaiki kesalahan. Saya mulai menyetor tugas-tugas dan mulai aktif mencari guru saya. Namun sedikit susah menemui guru bidang studi yang mengajar di hari Sabtu untuk meminta tugas-tugas tambahan.Tapi akhirnya saya bisa melewati itu semua dan nilai saya membaik di saat penerimaan rapor di semester 2. Akhirnya saya bisa juga naik ke kelas XI dan masuk ke kelas IPA setelah melewati penjaringan yang ketat.

Tapi saya menemukan kendala baru di kelas XI ini. Masih ada seorang guru yang sama sekali tidak mau memberikan sedikit kelonggaran beribadah di hari Sabtu. Begitu mengetahui bahwa saya adalah seorang penganut Kristen Advent, guru itu pun memanggil saya dan berkata: “Jadi setiap hari Sabtu Anda tidak masuk dalam kelas saya? Wah, bagaimana itu? Kalau saya sendiri tidak bisa memberikan izin karena kehadiran Anda nanti akan sangat jauh di bawah standar kehadiran! Ini bukan sekolah agama, ini sekolah umum! Tapi nantilah saya bicarakan lagi dengan kepala sekolah.”

Saya pun hanya terdiam mendengar hal itu dan langsung kembali ke tempat duduk. Tapi di tempat duduk saya termenung dan berkata dalam hati: “Saya kira Indonesia adalah negara yang rakyatnya bebas memeluk agama dan beribadah sesuai agama yang dianutnya. Namun sekarang ini saya merasa hal itu tak berlaku terhadap saya. Saya merasa terdiskriminasikan.”Tapi saya terus berdoa di kamar saya agar suatu saat diberikan kelonggaran oleh guru tersebut.

Heri kakak saya yang duduk di kelas XII, sekarang sedang mengurus surat izinnya juga dan kami sama-sama berharap bahwa kami bisa terus belajar sambil menjalankan ibadah sesuai agama yang kami anut. Di sekolah ini saya mendapat banyak pelajaran hidup yang tidak pernah saya dapatkan di SD dan SMP dulu.Sewaktu SD, saya bersekolah di SD Advent begitupun SMP, saya bersekolah di SMP Advent yang bernaung di satu yayasan yang sama yaitu Yayasan Pendidikan Advent Durian Makassar. Letaknya juga masih dalam suatu kawasan yang sama. Dulu di sana, setiap Sabtu kami di liburkan. Ya jelaslah! Namanya juga sekolah Advent. Jadi saya dengan leluasa ke gereja dan beribadah bersama keluarga.

Hingga saat ini saya berharap guru-guru saya bisa membuat kebijakan yang berpihak pada kami. Kebijakan yang memberikan izin lebih mudah sehingga tidak usah mengurus surat izin tiap semester, bahkan setiap perubahan jadwal pelajaran hari Sabtu serta dapat memberikan solusi yang terbaik bagi nilai-nilai kami. Sehingga saya tidak lagi merasa tersisihkan. Meskipun kami kaum minoritas bukan berarti kami tidak punya hak yang sama layaknya siswa lain. (p!)

*Budi Parabang dapat dihubungi melalui email aldi_atarashi@yahoo.com


sumber : http://panyingkul.com

Opini K Ikatan Alumni Smansa Lebih Dari Organisasi Arisan?

Sumber : http://ikasmansa.wordpress.com/


Menjadi alumni sebuah almamater yang terkenal, bergengsi dan berprestasi tentu memberi kebangaan sendiri bagi alumnusnya. Secara tidak sadar akan ada rasa bangga bila memasang stiker di mobil berupa logo atau lambang tempat sekolah atau kuliah dulu. Ditambah lagi kalau “bekas” tempat belajar kita akhirnya ditaburi oleh bintang-bintang orang beken, entah itu bintang sinetron, bintang Indonesian Idol, bintang politik, bintang pengusaha sukses, bintang menteri atau segala macam yang top-top lah.

Rasa bangga itu pasti akan selalu meng-haru biru dalam perasaan. Padahal belum tentu lawan bicara kita bisa merasa apa yang sedang berkecamuk dalam hati kita bila kita adalah alumnus dari sekolah itu.

Rasa Pesimis

Di Kongres I SMAnSA Makassar yang diadakan di Hotel Clarion (9/11/06) sempat terlontar nada pesimis dari salah seorang peserta kongres. Mungkin rasa pesimis itu timbul setelah melihat serunya perdebatan suatu bab dalam AD/ART yang dibahas. Bahkan sampai-sampai terjadi debat-kusir. Ia pun menginterupsi dan mengeluarkan pernyataan bahwa untuk apalah ngotot-ngototan seperti itu, toh organisasi seperti ini hanya sedikit lebih tinggi levelnya dari arisan.

Pernyataan itu menggugah nurani saya, dan bertanya dalam hati, benarkah organisasi semacam IKA lebih sedikit dari sekedar arisan ?. Kalau pengertian arisan yang dimaksud orang tersebut sama seperti kebanyakan orang yaitu tempat kumpul-kumpul yang umumnya dilakukan oleh ibu-ibu “kurang kerjaan” untuk bicara ngorol-ngidul, gossip sana-sini, abis itu pamer barang baru, bla..bla..bla sampai siapa yang menang arisan dan disepakati di mana arisan berikutnya, maka itu sungguh suatu ironi.

Lalu, akankah IKA SMAnSA demikian? Jawabnya tentu tidak. Namun, bila tidak ingin dicap sebagai organisasi yang sedikit di atas organisasi arisan, maka perlu pengurus IKA SMAnSA untuk memikirkan dan mewujudkan sebuah organisasi yang sesuai dengan amanah Kongres I yang tertuang dalam AD/ART yang di mana tersirat keinginan untuk menghasilkan suatu karya, adanya partisipasi dan kontribusi positif bagi alumni & masyarakat, serta inovasi yang terbaru bagi kemaslahatan orang banyak.

Tiga Motivasi

Setidaknya ada tiga hal yang dapat menjadi motivasi sebuah ikatan alumni itu didirikan.

Pertama : Silaturahmi. Hal yang paling indah adalah mengenang masa-masa “suka-duka” belajar di sekolah. Dulu waktu SMA, tentu akan sangat indah mengenang segala kekonyolan, keluguan, dan segala macam kisah buruk maupun kisah indah. Kalau lagi kongkow-kongkow sama teman-teman Se-SMA dulu, obrolan akan seru dan berubah jadi gelak tawa (sangat bagus untuk menghilangkan kepenatan habis pulang kerja) bila menceritakan kisah lucu & konyol dari seorang teman. Kelucuan cerita-cerita konyol itu sampai-sampai membuat kita sakit perut. Bahkan saking lucunya bisa mengeluarkan air mata.

Silaturahmi atau penulis membahasakannya merajut kembali persahabatan dan pertemanan yang mungkin sedang renggang, karena waktu dan jarak yang sempat memisahkan. Tidak jarang dari di event yang IKA adakan, banyak alumni yang baru bertemu kembali dengan teman yang sudah hampir 10 tahun bahkan 25 tahun tidak ketemu.

Kedua : Ajang untuk beraktualisasi diri. Aktualisasi dalam arti memberi kontribusi kepada sesama sebagai wujud kepedulian atas suatu hal. Contohnya, mengadakan bakti sosial & semacamnya. Kegiatan bakti sosial tersebut adalah wujud rasa ingin mengabdi untuk kebaikan masyarakat. Berbagi ilmu, berbagi materi sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dan berbagi lainnya .

Tentunya ada kesenangan, kegembiraan, keceriaan, serta suatu Kebahagiaan tersendiri kalau bersama teman-teman belajar kita dulu dan se-almamater dengan kita, bisa bersama-sama berbuat baik kepada masyarakat banyak.

Ketiga: Mencari peluang dan berbagi Kepentingan. Motivasi ini akan sering muncul dari suatu yang namanya organisasi. Entah itu kepentingan yang bermotif ekonomi (materi), politik, meningkatkan karir, kesempatan untuk belajar, dan kepentingan lainnya. Inilah yang sering menimbulkan konflik dalam organisasi (conflict of interest). Namun jika dilihat dari sisi positif, kalau semua kepentingan itu dapat kita sinergikan, sehingga menciptakan sebuah peluang bisnis yang win-win, maka mengapa tidak ?

Uraian tadi adalah peluang yang bisa kita ciptakan dari sebuah organisasi ikatan alumni. Tentu, untuk mewujudkan tidaklah mudah. Hal yang paling berat adalah bagaimana meng-organizingnya. Belum tentu ada yang mau action untuk mewujudkannya. Maklum setiap anggota tentu punya prioritas utama dalam hidupnya.

Mereka sudah punya jadwal tersendiri, sehingga sangat dimaklumi jika ada anggota yang aktif, pasif, dan sekedar sebagai penggembira. Tapi itulah dinamika organisasi. Diperlukan suatu keahlian yang bagus, Good Leadership, Good Management Skill, Time Management yang excellent, dan yang paling penting adalah adanya saling pengertian, toleransi dan kedisiplinan bagi anggotanya, mengingat organisasi ini merupakan organisasi nirlaba yang lebih banyak nilai sosial dan pendidikannya dibanding motif ekonomi.

Bagaimana pun juga, tentu setiap orang ingin yang terbaik baik organisasinya. Tentu kita tidak akan mau bergabung pada sebuah organisasi yang NATO (No Action Talk Only) karena itu akan wasting time. Selamat berorganisasi. Sukses IKA SMAnSA Makassar ! (*)

Oleh: Andi M Nur Bau Massepe, SE,MM

Penulis adalah alumni angkatan 1996 dan Wakil Sekretaris Bidang Infokom IKA SMAnSA Makassar