Minggu, 16 Agustus 2009

Mereka yang Resah di Los Pasar Terong

:: Muhammad Arief al-Fikri ::


Los jualan Pasar Terong yang dibongkar 31 Agustus 2007.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.


Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri siswa SMAN 1 Makassar yang tinggal di kawasan Pasar Terong, Makassar, menyaksikan keresahan sejumlah pedagang menyusul pembongkaran los-los jualan di luar gedung pasar, yang rencananya akan diganti dengan bangunan ruko. Keresahan tersebut dibagi dalam tulisan berikut ini. (p!)
Daeng Sangkala, salah seorang pedagang rempah-rempah yang biasanya menggelar dagangannya di salah satu los di luar bangunan Pasar Terong, Makassar, sudah tidak lagi berjualan sejak satu setengah bulan terakhir. Menurut para pedagang lainnya dan penduduk sekitar, Daeng Sangkala sudah pindah berjualan ke Sungguminasa, setelah pedagang lainnya di jejeran los di Pasar Terong itu “memusuhinya”. Tempat berjualan yang dulu ditempati Daeng Sangkala, kini digunakan seorang pedagang VCD bajakan.

Daeng Sangkala telah menjadi korban dari prahara yang terjadi di pasar ini. Para pedagang lainnya mengecam Daeng Sangkala tidak solider karena tidak ikut berdemonstrasi menentang penggusuran los jualan para pedagang pada akhir Agustus lalu. Karena dianggap tidak solider itulah, Daeng Sangkala kemudian dikucilkan, dan akhirnya memilih pindah.

Gelombang prahara memang sedang melanda para pedagang yang selama ini berjualan di los di luar gedung pasar. Rencana pembangunan ruko di lokasi tempat mereka berjualan selama ini, membuat suasana pasar menjadi panas. Tanggal 30 Agustus lalu, sekitar pukul 12.30 siang, sejumlah pedagang kaki lima (PKL) Pasar Terong memang mengadakan aksi demonstrasi di depan bangunan permanen Pasar Terong.

Mereka berhadapan langsung dengan para petugas Pamong Praja. Aksi ini dipicu oleh rencana pembongkaran tempat-tempat jualan para pedagang kaki lima pasar terong yang berada di sisi kanan gedung pasar. Mereka yang selama ini berjualan di emperan sekitar gedung pasar akan dipindahtempatkan ke sisi kiri gedung, di mana telah disediakan jejeran meja jualan yang dinaungi seng, yang dilengkapi dengan meja kecil berukuran sekitar 100 x 80 cm.

Setiap meja telah ditulisi nomor dengan cat di bagian depan, yang menunjukkan nomor meja masing-masing pedagang yang akan direlokasi tempat jualannya, dan setiap pedagang hanya boleh menempati satu meja sesuai dengan nomor kartu yang telah dibagikan. Istilah pihak pengelola pasar ini adalah penertiban dan penataan pasar. Tapi di mata para pedagang, ini jelas adalah penggusuran.

Para pedagang tetap bersikukuh tidak ingin pindah, karena selain ukuran tempat berjualan pengganti yang terlalu kecil dan sempit dibandingkan dengan tempat yang sekarang, beredar juga kabar yang membuat pedagang resah: ada oknum yang seenaknya mengharuskan setiap meja dibeli dengan harga Rp2,5 juta. Padahal berdasarkan pernyataan seorang pamong praja, tidak ada pemungutan biaya untuk meja-meja tersebut. Dalam suasana panas yang diwarnai banyak rumor itulah, para pedagang sepakat siapa saja yang mencoba pindah dari tempat berjualan yang lama, akan menjadi musuh pedagang lainnya.

Penataan kembali pasar ini memang membuat gelisah para pedagang. Rencananya, los pedagang akan dirombak menjadi kawasan ruko bertingkat dua yang akan dijual seharga Rp900 juta per ruko. Tanah di sepanjang ruas kanan pasar tersebut yang merupakan lahan para pedagang selama ini mendirikan tenda, seng, dan menjajakan jualannya, akan dijadikan jalanan masuk untuk kendaraaan. Tersiar kabar di antara pedagang bahwa kelak Pasar Terong akan menjelma menjadi kompleks pertokoan yang megah.

Seperti yang dilansir media, investor bernama PT Prabu Sejati atau PT Putra Makassar bekerjasama dengan PD Pasar Terong dan Pemkot Makassar akan menata pembangunan kawasan yang selama ini menjadi los jualan.

Para pedagang kemudian angkat suara, berunjuk rasa menolak keras pembongkaran dan pemindahan. Unjuk rasa yang dipimpin oleh Darmawati dari Forum Persaudaraan Pedagang Pasar Terong, yang juga salah seorang pedagang di pasar tersebut, berlangsung ramai di bawah siraman teriknya matahari. Tidak henti-hentinya mereka menyuarakan penolakan.


Pamong Praja yang membongkar.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.



Sebagian pedagang yang menyaksikan pembongkaran.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.



Saya ikut menyaksikan unjuk rasa dan pembongkaran yang berlangsung di pasar. Dengan membuka orasi dengan membaca basmalah dan ucapan selamat siang, Darmawati meneriakkan,”Saudara-sadarakau pedagang Pasar Terong, apa yang disampaikan tadi oleh bapak-bapak, kami tolak! Pembongkaran, kami tolak! Pemindahan, kami tolak! Kami minta secara organisasi dan secara kekeluargaan dikoordinasikan kembali di dalam ruangan. Kami minta jangan dirugikan, jangan disakiti. Kami di sini mencari nafkah, mencari makan, kami punya anak. Dan perlu bapak-bapak ibu-ibu ketahui, yang membuat ramai para pengunjung di sini adala pedagang kaki lima!”

Setiap satu kalimat selesai diteriakkan, disusul dengan sorak-sorai, seperti, “Betuuulll….Iyyaaaa….Keso’!”.

Keesokan harinya, yakni hari Jumat tanggal 31 Agustus 2007 selepas ashar, sekelompok Pamong Praja datang melakukan pembongkaran. Para petugas tersebut menjadi beringas setelah seorang rekannya disemprot dengan adonan cabai oleh salah seorang pedagang.

Satu per satu seng dibuka, tiang dan balok penyangga tenda dilepas, dan meja kayu jualan diinjak-injak, meskipun ada beberapa pedagang yang memilih mmbongkar sendiri tempat jualannya.

Dari obrolan dengan para pedagang pasar, mereka memang tak menyerah untuk melawan. Mereka pun menyuarakan aspirasi ke DPRD Makassar seminggu setelah pembongkaran itu. Tentu mustahil bagi para pedagang untuk membeli ruko yang harganya hampir semilyar tersebut. Mereka hanya bisa tertegun pasrah menyaksikan lapak-lapak jualan mereka roboh satu per satu, luluh lantak berantakan.

Mereka kini terus berkeluh kesah. Hajjah Leda seorang penjual daun bawang yang melihat lapaknya dibongkar memelas, “Bagaimana ini, mungkin lebih baik kalau saya kembali saja ke kampung untuk tanam ubi..”

Daeng Nanna juga mengeluh,” Bagaimana kita mau pindah kalau tempat penggantinya Sangat kecil begitu, bahkan untuk duduk buang air besar saja tidak cukup”.

Aksi pembongkaran di akhir Agustus itu berlangsung hingga senja hari. Setelah magrib, suasana sekitar Pasar Terong kembali riuh oleh pedagang dan masyarakat sekitar. Mereka menunggu datangnya mobil buldozer yang siap menyendok kepingan-kepingan lapak jualan yang berhamburan.


Los Hajjah Leda sebelum pembongkaran.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.



Los Hajjah Leda setelah pembongkaran.
Foto: Muhammad Arief al-Fikri.



Sembari menanti datangnya mobil tersebut, beberapa pedagang sudah terlebih dahulu membakar sebahagian sisa-sisa tempat jualan mereka di lokasi pembongkaran. Sebelumnya santer kabar bahwa ada pedagang yang emosi dan nekat membumi hanguskan seluruh pasar bermodalkan 3 liter bensin. Untuk mengantisipasi rumor ini, salah seorang warga menghubungi petugas pemadam kebakaran untuk berjaga-jaga dan mencegah sang jago merah semakin mengamuk. Sekitar pukul 7.30 malam, listrik padam kurang lebih setengah jam. Warga sekitar pasar pun mengaitkan pemadaman ini dengan berbagai rumor yang mengiringi pembongkaran yang terjadi sepanjang hari itu.

Setelah pembongkaran
Sebulan lebih telah berlalu setelah pembongkaran, nasib para pedagang semakin memprihatinkan. Aspirasi yang telah disampaikan ke DPRD Makassar, konon akan diteruskan ke Pemkot Makassar dan pihak investor, meski belum ada kabar lanjutan yang didengar oleh para pedagang.

Kini, para pedagang harus rela menanggung suasana berjualan yang makin panas dan pengap dari sebelumnya, sebab sudah tidak ada lagi jejeran seng yang rapat menjadi penaung bagi tiap-tiap tempat jualan para pedagang yang berada di sepanjang ruas kanan pasar. Hanya ada tenda-tenda yang dipasang seadanya.

Sampai hari ini mereka masih tetap bertahan berjualan di lahan mereka masing-masing dengan lapak-lapak seadanya dengan memanfaatkan bagian lapak yang masih tersisa dari aksi pembongkaran. Menurut Darmawati seperti yang dilansir Harian Fajar 4 September, para pedagang bertahan di los mereka yang jumlahnya ada sekitar 40 los, karena ganti rugi yang disodorkan tidak memadai, hanya Rp5 juta per los, sementara para pedagang membayar uang muka los Rp7 juta dan mencicil Rp1,5 juta per bulan. Perjanjian dengan pihak investor, PT Prabu Sejati pedagang bisa menempati los ini hingga 2017. “Tapi baru tiga tahun, kami malah digusur. Penggusuran pun tanpa komunikasi dengan kami” keluh Darmawati.

Kini, setiap hari saat saya lewat di dekat jejeran los para pedagang itu, saya menemui wajah-wajah penuh kecemasan, dan juga tentu saja saya terus mendengar berbagai rumor yang berkembang seputar pembangunan ruko di pasar itu. (p!)

*Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id

sumber : http://panyingkul.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar