Sabtu, 12 Maret 2011
Understanding E-Liquid
There are only a handful of elements used in making e liquid. The primary element found is propylene glycol. This substance is the cause for producing the vapor that bears the nicotine and flavours. Propylene glycol is considered to be safe for human intake, and is accepted by the FDA for a lot of common items we see in food stores and supermarkets these days. It's not only used in smoke juice and foodstuffs. It could also be used in certain soaps, shampoos, and medical drugs. Some other elements in e liquid are nicotine, water and flavoring. Unfortunately, some individuals have sensitive side effects to propylene glycol, and lots of electric cigarette manufacturers have attempted to resolve that. Today, the best answer would be to utilize vegetable glycerin as opposed to propylene glycol. Vegetable glycerin is vegetable-based, and is employed in moisturizers and skin cleaning agents.
E-liquid is sold in many different levels of strength. Producers of smoke juice commonly sell these in high, medium and low strengths. The high strength liquid is generally 18 to 24 mg. while the medium strength is 11 to 16 mg. and the low strength at 0 to 6 mg. The high strength version will be attractive mostly to folks who used to smoke regular cigarettes. Individuals who smoke lights may prefer the medium strength variation.
Some minor drawbacks may occur during your initial time using electric cigarettes. These minor side effects include things like light headedness, dizziness, and nausea. Any time these issues take place, just reduce the nicotine strength you're trying.
E-liquid is regarded as safe, and it is better than smoking a regular cigarette. It is designed for people that are previously used to smoking cigarettes and ingesting nicotine. Nicotine in itself is non-carcinogenic. It's not the ingredient that brings about cancer. The other chemical substances utilized in manufacturing cigarettes are recognized to result in such problems. Each and every component used in smoke juice is regarded as suitable for human usage. E-liquid and electric cigarettes are risk-free, and these products are a fantastic option for people who want to quit smoking.
E-liquid can be better simply because it doesn't contain arsenic, tar, tobacco, and carbon monoxide. Just think about the comparison involving inhaling thick smoke directly into your lungs and inhaling liquid vapor. It's practically been 10 years since the innovation of electric cigarettes, and thus far, there have been no fatalities or major sicknesses linked with it so far. Once you use e cigarettes, you'll be able to get the kick you would like out of smoking—minus the risks.
Minggu, 16 Agustus 2009
Cetak Siswa Unggul, Cerdas dan Gaul
Tiap sekolah tentu mengharapkan cetakan output yang berkualitas. Tak terkecuali Smansa. Namun sekolah favorit berusia 59 tahun yang kini di komandoi Drs Herman Hading ini juga menghendaki siswanya untuk gaul. So, gaul seperti apa yah?
SMA Negeri 1 Makassar atau yang lebih familiar dengan sebutan Smansa. Salah satu sekolah paling favorit di Kota Anging Mammiri yang didirikan tahun 1950.
Waktu itu sih masih bernama AMS Makassar. Wah, artinya usia Smansa gampir 60 tahun dong! Tak ayal jika sekolah ini juga merupakan SMA perinntis paling uzur di Sulsel. Lambat laun AMS Makassar berganti nama menjadi SMA Makassar.
Well, seiring dengan perkembangan zaman, jumlah siswa Smansa kian menambah, oleh karena itu, tahun 1957 sekolah ini dibagi menjadi dua bagian. Nah, saat ini satu bagiannya menjadi Smansa dan satunya lagi yang sekarang kita kenal dengan SMAN 2 Makassar.
Dibalik sejarah Smansa, ternyata Smansa juga pernah luluh lantak akibat mengalami kebakaran besar. Kemudian dibangun kembali dan selesai 14 April 1982, lalu diresmikan oleh Daud Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada waktu itu.
Nah, itu segelintir flash back tentang sejarah sekolah yang bercokol di bilangan Gunung Bawakaraeng ini. Tak jauh berbeda dengan sekolah lain, Smansa juga menghendaki lulusan yang berkualitas. Namun dibalik itu semua, rupanya selain menciptakan siswa, pintar, unggul dan cerdas Smansa juga menghendaki anak didik yang "gaul". Begitu menurut Herman Hading, sang kepala sekolah.
"Nah, gaul disini tidak hanya seperti pengertian gaul anak-anak zaman sekarang, tetapi juga bagaimana mereka (siswa, red) bisa membangun komunikasi dengan siapa saja dan dimana saja mereka berada," tambah Herman Hading yang mengepalai sekolah ini sejak 2003.
Tentu semua hal itu dibarengi dengan optimalisasi bidang akademik maupun ekstrakurikuler yang terus digenjot. Contohnya saja pemberlakuan jam pelajaran tambahan tiap sore hari serta 18 pilihan program ekstrakurikuler yang disediakan. Termasuk ekskul fotografi, yang boleh jadi hanya bisa ditemukan di sekolah ini.
Fasilitas di SMA yang hingga sekarang memiliki 14 kepala sekolah ini boleh dibilang cukup memadahi, lihat saja halaman yang yang luas, lapangan, loboraturium, perpustakaan, ruang multimedia.
Bahkan masing-masing dua ruangan khusus digunakan menunjang belajar Matematika, bahasa Inggris dan Pendidikan Agama. Herman Hading juga menuturkan harapannya. "Kita selalu mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada pada siswa dalam proses belajar, untuk mencapai kualitas manusia yang maksimal dan gaul itu tadi," imbuhnya
Lempar "Bom Bismillah", Lalu Kita Aturlah..
:: Muhammad Arief al-Fikri :: |
Terumbu karang di pulau terpencil yang rusak akibat pemboman. Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin. Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri mewawancari dua pakar yang meneliti dan bergelut dalam masalah destructive fishing untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kondisi terkini pemboman ikan, serta upaya untuk mengatasinya. Ada bom ikan yang bernama ”bismillah” dan juga ada kekhawatiran melihat lemahnya penegakan hukum, sehingga praktik ”saling atur” dengan aparat, membuat para pelaku tetap leluasa beraksi. (p!) |
Di awal Desember 2007, saya mewawancarai Muhsin, seorang master diver dan peneliti terumbu karang yang saat ini bekerja di kantor kelautan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Di kediamannya yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea Makassar, Muhsin menerima saya dan memberi penjelasan panjang lebar mengenai destructive fishing (DF). Irama rintik-rintik hujan di malam itu menemani perbincangan kami. Menurut Muhsin, setiap pulau atau daerah identik dengan alat tangkap yang khas. Berikut saya sajikan dalam bentuk tabel di bawah ini: Dan berikut penjelasannya lebih lanjut mengenai DF. Untuk jenis bagang, terdiri dari 3 jenis. Bagang tancap (dengan lampu strongking), bagang perahu (dengan lampu sorot), dan bagang rambo (dengan banyak lampu). Bagang beserta lampunya ini digunakan untuk menangkap ikan yang hanya aktif pada malam hari (gelap) dan senang akan cahaya. Ikan jenis ini disebut dengan ototaksis positif. Bubu tindis merupakan perangkap ikan yang terbuat dari bambu. Karena terbuat dari bambu (ringan), alat ini dipasang dengan cara ditindis – biasanya dengan menggunakan terumbu karang, itulah yang menyebabkan mengapa alat ini termasuk alat tangkap yang merusak- di dasar perairan supaya tidak goyang dan berpindah tempat setelah didiamkan. Untuk mengumpan ikan-ikan yang menjadi target, di dalam bubu biasa dipasangi umpan. Ikan-ikan yang sudah terkurung tidak dapat lagi keluar dari bubu. Di dalam bubu, ikan-ikan akan kekurangan oksigen dan bahan makanan (bagi ikan pemangsa) lalu mati setelah beberapa waktu. Setelah ikan-ikan tersebut mati, barulah diangkat naik ke kapal/perahu. Alat tangkap selanjutnya adalah cantrang, yang merupakan miniatur pukat harimau. Alat ini biasa digunakan masyarakat di TPI Paotere. Jenis dan bentuknya tidak berbeda dengan pukat harimau, hanya saja ukurannya lebih minim. Penggunaan pukat harimau dilarang karena tidak mengenal size and kind (ukuran dan jenis), sehingga ikan-ikan yang menjadi korban termasuk yang bukan target tangkapan. Ikan yang ukan target ini kemudian dibuang begitu saja seperti sampah. Bisa dibayangkan berapa banyak ikan yang hanya jadi sampah tangkapan lalu dibuang seenaknya jika radius yang terkena pukat harimau mencapai puluhan meter? Untuk melengkapi penjelasan Muhsin, saya juga mewawancarai Yusran, direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia memberi gambaran lain tentang pemboman di Selayar. Lembaga yang dipimpin Yusran ini berdiri sejak 1997, bergerak di bidang konservasi laut, kehidupan pesisir, dan penangkapan ikan. Menurut Yusran, di kepulauan Selayar, biasa digunakan adalah bondet, alat tangkap serupa bom. Berdasarkan pengalaman Yusran, pulau-pulau yang termasuk pulau yang kaya akan sumber daya lautnya di antaranya; Taka Bonerate, gugusan Kepulauan Spermonde yang terdiri dari 128 pulau, Kepulauan Sembilan di Sinjai, dan Kepulauan Tana Keke di Takalar. Bom dan Bius Alat tangkap yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah bom dan bius. Mengapa demikian? Menurut Muhsin, penggunaan bom untuk mencegah ikan lolos melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. ”Kalau telat nanti ikannya bisa melarikan diri. Makanya dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu diangkat naik” jelas Muhsin. Sebelum membom ikan, di atas kapal/perahu para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan, termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya. Bom dibeli satu paket dengan detonator, termolit, dan sumbu. Bom ini berasal dari bahan pupuk sianida –biasanya disiapkan oleh punggawa-- dengan kadar nitrogen yang tinggi. Harganya sekitar Rp200.000 per zak (1 zak = 25 kg). Di Barrang Lompo, dalam satu kapal pa’es –kapal besar yang memuat es dan merupakan kapal pembom— biasanya membawa 10 hingga 12 zak bom untuk perjalanan 7 hingga 10 hari. Dan setiap kilogram, radiusnya mencapai 5 meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk – makhluk laut (misalnya plankton) yang tidak kasat mata (mikroskopis)? Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap, yakni bom. Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut, penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat), kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air, kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2 cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan. Jika lautnya dalam, maka sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek. Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan ”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan. Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan dagingnya lembek (lunak). Berbeda halnya dengan bom, bius berfungsi sebagai ”racun sementara”. Bius ini digunakan dengan cara disemprotkan ke area mana saja yang dikehendaki sebagai target tangkapan. Ikan-ikan yang sudah dibius akan teler, lalu selanjutnya disterilkan biusnya agar ikan normal kembali seperti sedia kala. Ada dua cara mensterilkan bius ikan. Pertama, si penangkap (berenang) membawa ikan-ikan yang sedang ”teler” ini ke perairan yang tidak tercemar oleh bius dengan memasukkan ikan ke dalam jaring atau alat lain. Nah, di sini ikan-ikan tersebut akan kembali normal dalam beberapa waktu. Setelah ikan kembali normal, barulah ikan-ikan tersebut diangkat naik ke atas kapal/perahu. Kedua, ikan yang ”mabok laut” tadi dimasukkan ke dalam keramba, namun cara ini memakan waktu yang lebih lama dari cara pertama, biasanya satu minggu. Menurut Yusran, jenis ikan yang menjadi target pembiusan biasanya jenis ikan yang bernilai ekonomis dan ikan hias. Ikan-ikan tersebut tentu harus dijual dalam keadaan hidup, makanya dibius supaya tetap bagus tampak fisiknya. ”Pembeli mana tahu kalo ikan tersebut sudah dibius, toh ikannya dijual hidup dan tidak ada ciri-ciri fisik yang nampak seperti ikan hasil bom,” ujar Yusran menambahkan. Lantas, apakah efek bius dalam tubuh ikan tidak hilang dan menjadi racun bagi para konsumen setelah dimasak? Menurut Muhsin, berdasarkan penelitian, bahan-bahan yang terkandung dalam bius yang meracuni ikan akan hilang sedikitnya 2 hari. Sedangkan Yusran menambahkan, efek bius tersebut tidak begitu signifikan mempengaruhi kesehatan konsumen. ”Buktinya sudah banyak yang makan ikan, tapi belum pernah ada berita mengenai hal tersebut” ujarnya yakin. Terus Berlanjut Kegiatan penangkapan ikan model DF terus berlangsung hingga sekarang, disebabkan karena beberapa hal. Pertama, sebut saja ’tuntutan hidup’. Karena penangkapan ikan secara DF lebih mudah dan lebih cepat ketimbang dengan cara alami (tanpa menggunakan alat2 tangkap yang merusak) sehingga arus jual-beli bisa tetap lancar dan kontinu. Dengan begitu, kebutuhan para nelayan dan keluarga sehari-hari bisa tetap terpenuhi. Kedua, adanya realita ”hukum kotor”. Misalnya yang terjadi di Selayar dan Barrang Lompo. Berdasarkan cerita Muhsin, di kedua daerah tersebut para nelayan (pelaku penangkapan ikan secara merusak) menyumpal mulut aparat dengan lembaran-lembaran rupiah agar perbuatannya tidak dilaporkan, karena resikonya adalah hukuman pidana seperti yang tercantum pada UU No. 31 Tahun 2000 Pasal 84 Ayat 1, yakni denda paling banyak Rp1.200.000.000 (satu milyar dua ratus juta rupiah) atau kurungan penjara paling lama 6 tahun. Di Barrang Lompo, tiap satu buah kapal pa’es (kapal pembom) membayar petugas 2 juta rupiah untuk satu kali trip (kurang lebih selama 1 minggu). Selama sebulan, setiap kapal biasanya melakukan trip sebanyak 3 kali. Berarti setiap bulannya, dompet aparat di daerah itu bertambah tebal oleh uang 6 juta rupiah. ”Harga itu berlaku sebelum tahun 2000...,” tambah Pak Muhsin. Nominal ini hanya untuk satu buah kapal, sedangkan volume kapal pembom di Barrang Lompo kala itu mencapai 30 buah. Wah, berapa banyakkah uang yang diperlukan ”meredam” petugas? Silakan hitung sendiri! Meskipun harus merogoh kocek, namun biaya yang para nelayan keluarkan untuk membungkam aparat tidak mengurangi keuntungan hasil penjualan ikan secara drastis. Dengan kata lain, tidak seberapa. Oleh karena itulah, kegiatan penangkapan ikan secara destruktif (DF) tetap berlangsung. Ketiga, suplai alat dan bahan untuk menangkap (misalnya bom dan bius) tetap tersedia. Meskipun sulit untuk mendapatkannya, namun setiap daerah/pulau sudah punya penyuplai dan jalur distribusi tersendiri. Solusi Mengenai solusi, saya mendapati dua jawaban yang berbeda namun cukup menarik dari kedua narasumber tersebut. Menurut Yusran, sudah ada tiga program untuk setidaknya mengikis sedikit demi sedikit arus kegiatan penangkapan ikan secara destruktif. Ada yang sudah dan masih berlangsung, namun ada juga yang masih ”hitam di atas putih”. Pertama, MCS (Monitoring Controlling Surveillance) untuk pengawasan dan pemantauan praktek-praktek DF secara berkelanjutan. MCS sendiri terbagi atas dua, yakni MCS berbasis laut yang dilakukan oleh TNI AL dan Polairud (polisi air dan udara) dan MCS berbasis darat atas rekomendasi DFW (Destructive Fishing Watch) bekerja sama dengan YKL. MCS berbasis laut bertujuan untuk menangkap kapal-kapal pembom di laut. Untuk sementara, MCS inilah yang gencar dilakukan. Sedangkan MCS berbasis darat yang sudah mulai diaplikasikan bertujuan untuk memutus mata rantai jaringan distribusi bom dan bius. Kedua, CEB (Character Education Building) yakni penanaman nilai-nilai perilaku penangkapan yang ramah lingkungan melalui proses pengajaran, atau bisa juga disebut idealisme konservasi. Targetnya adalah generasi kawula muda. Rencananya, Kepulauan Selayar merupakan daerah pertama yang akan segera dijamah program tersebut. Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang dibiayai oleh World Bank (bank dunia) dan ADB (Asian Development Bank) akan memfasilitasi pengadaan pelajaran muatan lokal khusus mengenai penangkapan ikan yang ramah lingkungan di sekolah-sekolah di Kepulauan Selayar. Terlepas dari apakah ada udang di balik batu, yang jelas menurut Yusran agenda ini sudah dalam proses penyusunan kurikulum. Tujuannya, agar generasi muda mengetahui dampak dan pengaruh DF bagi kelangsungan kehidupan bawah laut serta diharapkan bisa menemukan alternatif mengenai cara tangkap yang tidak merusak. Ketiga, alternatif teknologi. Di lain pihak, Muhsin memiliki pernyataan sendiri mengenai solusi DF. ”Susah kalau mikir solusi, sebab akar masalahnya ada pada hukum dan aparat. Kalau akarnya sudah lemah begini, bagaimana pohonnya mau kokoh?” ujar Muhsin. (p!) *Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id sumber : http://panyingkul.com |
Mereka yang Resah di Los Pasar Terong
:: Muhammad Arief al-Fikri :: |
Los jualan Pasar Terong yang dibongkar 31 Agustus 2007. Foto: Muhammad Arief al-Fikri. Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri siswa SMAN 1 Makassar yang tinggal di kawasan Pasar Terong, Makassar, menyaksikan keresahan sejumlah pedagang menyusul pembongkaran los-los jualan di luar gedung pasar, yang rencananya akan diganti dengan bangunan ruko. Keresahan tersebut dibagi dalam tulisan berikut ini. (p!) |
Daeng Sangkala, salah seorang pedagang rempah-rempah yang biasanya menggelar dagangannya di salah satu los di luar bangunan Pasar Terong, Makassar, sudah tidak lagi berjualan sejak satu setengah bulan terakhir. Menurut para pedagang lainnya dan penduduk sekitar, Daeng Sangkala sudah pindah berjualan ke Sungguminasa, setelah pedagang lainnya di jejeran los di Pasar Terong itu “memusuhinya”. Tempat berjualan yang dulu ditempati Daeng Sangkala, kini digunakan seorang pedagang VCD bajakan. Daeng Sangkala telah menjadi korban dari prahara yang terjadi di pasar ini. Para pedagang lainnya mengecam Daeng Sangkala tidak solider karena tidak ikut berdemonstrasi menentang penggusuran los jualan para pedagang pada akhir Agustus lalu. Karena dianggap tidak solider itulah, Daeng Sangkala kemudian dikucilkan, dan akhirnya memilih pindah. Gelombang prahara memang sedang melanda para pedagang yang selama ini berjualan di los di luar gedung pasar. Rencana pembangunan ruko di lokasi tempat mereka berjualan selama ini, membuat suasana pasar menjadi panas. Tanggal 30 Agustus lalu, sekitar pukul 12.30 siang, sejumlah pedagang kaki lima (PKL) Pasar Terong memang mengadakan aksi demonstrasi di depan bangunan permanen Pasar Terong. Mereka berhadapan langsung dengan para petugas Pamong Praja. Aksi ini dipicu oleh rencana pembongkaran tempat-tempat jualan para pedagang kaki lima pasar terong yang berada di sisi kanan gedung pasar. Mereka yang selama ini berjualan di emperan sekitar gedung pasar akan dipindahtempatkan ke sisi kiri gedung, di mana telah disediakan jejeran meja jualan yang dinaungi seng, yang dilengkapi dengan meja kecil berukuran sekitar 100 x 80 cm. Setiap meja telah ditulisi nomor dengan cat di bagian depan, yang menunjukkan nomor meja masing-masing pedagang yang akan direlokasi tempat jualannya, dan setiap pedagang hanya boleh menempati satu meja sesuai dengan nomor kartu yang telah dibagikan. Istilah pihak pengelola pasar ini adalah penertiban dan penataan pasar. Tapi di mata para pedagang, ini jelas adalah penggusuran. Para pedagang tetap bersikukuh tidak ingin pindah, karena selain ukuran tempat berjualan pengganti yang terlalu kecil dan sempit dibandingkan dengan tempat yang sekarang, beredar juga kabar yang membuat pedagang resah: ada oknum yang seenaknya mengharuskan setiap meja dibeli dengan harga Rp2,5 juta. Padahal berdasarkan pernyataan seorang pamong praja, tidak ada pemungutan biaya untuk meja-meja tersebut. Dalam suasana panas yang diwarnai banyak rumor itulah, para pedagang sepakat siapa saja yang mencoba pindah dari tempat berjualan yang lama, akan menjadi musuh pedagang lainnya. Penataan kembali pasar ini memang membuat gelisah para pedagang. Rencananya, los pedagang akan dirombak menjadi kawasan ruko bertingkat dua yang akan dijual seharga Rp900 juta per ruko. Tanah di sepanjang ruas kanan pasar tersebut yang merupakan lahan para pedagang selama ini mendirikan tenda, seng, dan menjajakan jualannya, akan dijadikan jalanan masuk untuk kendaraaan. Tersiar kabar di antara pedagang bahwa kelak Pasar Terong akan menjelma menjadi kompleks pertokoan yang megah. Seperti yang dilansir media, investor bernama PT Prabu Sejati atau PT Putra Makassar bekerjasama dengan PD Pasar Terong dan Pemkot Makassar akan menata pembangunan kawasan yang selama ini menjadi los jualan. Para pedagang kemudian angkat suara, berunjuk rasa menolak keras pembongkaran dan pemindahan. Unjuk rasa yang dipimpin oleh Darmawati dari Forum Persaudaraan Pedagang Pasar Terong, yang juga salah seorang pedagang di pasar tersebut, berlangsung ramai di bawah siraman teriknya matahari. Tidak henti-hentinya mereka menyuarakan penolakan. Pamong Praja yang membongkar. Foto: Muhammad Arief al-Fikri. Sebagian pedagang yang menyaksikan pembongkaran. Foto: Muhammad Arief al-Fikri. Saya ikut menyaksikan unjuk rasa dan pembongkaran yang berlangsung di pasar. Dengan membuka orasi dengan membaca basmalah dan ucapan selamat siang, Darmawati meneriakkan,”Saudara-sadarakau pedagang Pasar Terong, apa yang disampaikan tadi oleh bapak-bapak, kami tolak! Pembongkaran, kami tolak! Pemindahan, kami tolak! Kami minta secara organisasi dan secara kekeluargaan dikoordinasikan kembali di dalam ruangan. Kami minta jangan dirugikan, jangan disakiti. Kami di sini mencari nafkah, mencari makan, kami punya anak. Dan perlu bapak-bapak ibu-ibu ketahui, yang membuat ramai para pengunjung di sini adala pedagang kaki lima!” Setiap satu kalimat selesai diteriakkan, disusul dengan sorak-sorai, seperti, “Betuuulll….Iyyaaaa….Keso’!”. Keesokan harinya, yakni hari Jumat tanggal 31 Agustus 2007 selepas ashar, sekelompok Pamong Praja datang melakukan pembongkaran. Para petugas tersebut menjadi beringas setelah seorang rekannya disemprot dengan adonan cabai oleh salah seorang pedagang. Satu per satu seng dibuka, tiang dan balok penyangga tenda dilepas, dan meja kayu jualan diinjak-injak, meskipun ada beberapa pedagang yang memilih mmbongkar sendiri tempat jualannya. Dari obrolan dengan para pedagang pasar, mereka memang tak menyerah untuk melawan. Mereka pun menyuarakan aspirasi ke DPRD Makassar seminggu setelah pembongkaran itu. Tentu mustahil bagi para pedagang untuk membeli ruko yang harganya hampir semilyar tersebut. Mereka hanya bisa tertegun pasrah menyaksikan lapak-lapak jualan mereka roboh satu per satu, luluh lantak berantakan. Mereka kini terus berkeluh kesah. Hajjah Leda seorang penjual daun bawang yang melihat lapaknya dibongkar memelas, “Bagaimana ini, mungkin lebih baik kalau saya kembali saja ke kampung untuk tanam ubi..” Daeng Nanna juga mengeluh,” Bagaimana kita mau pindah kalau tempat penggantinya Sangat kecil begitu, bahkan untuk duduk buang air besar saja tidak cukup”. Aksi pembongkaran di akhir Agustus itu berlangsung hingga senja hari. Setelah magrib, suasana sekitar Pasar Terong kembali riuh oleh pedagang dan masyarakat sekitar. Mereka menunggu datangnya mobil buldozer yang siap menyendok kepingan-kepingan lapak jualan yang berhamburan. Los Hajjah Leda sebelum pembongkaran. Foto: Muhammad Arief al-Fikri. Los Hajjah Leda setelah pembongkaran. Foto: Muhammad Arief al-Fikri. Sembari menanti datangnya mobil tersebut, beberapa pedagang sudah terlebih dahulu membakar sebahagian sisa-sisa tempat jualan mereka di lokasi pembongkaran. Sebelumnya santer kabar bahwa ada pedagang yang emosi dan nekat membumi hanguskan seluruh pasar bermodalkan 3 liter bensin. Untuk mengantisipasi rumor ini, salah seorang warga menghubungi petugas pemadam kebakaran untuk berjaga-jaga dan mencegah sang jago merah semakin mengamuk. Sekitar pukul 7.30 malam, listrik padam kurang lebih setengah jam. Warga sekitar pasar pun mengaitkan pemadaman ini dengan berbagai rumor yang mengiringi pembongkaran yang terjadi sepanjang hari itu. Setelah pembongkaran Sebulan lebih telah berlalu setelah pembongkaran, nasib para pedagang semakin memprihatinkan. Aspirasi yang telah disampaikan ke DPRD Makassar, konon akan diteruskan ke Pemkot Makassar dan pihak investor, meski belum ada kabar lanjutan yang didengar oleh para pedagang. Kini, para pedagang harus rela menanggung suasana berjualan yang makin panas dan pengap dari sebelumnya, sebab sudah tidak ada lagi jejeran seng yang rapat menjadi penaung bagi tiap-tiap tempat jualan para pedagang yang berada di sepanjang ruas kanan pasar. Hanya ada tenda-tenda yang dipasang seadanya. Sampai hari ini mereka masih tetap bertahan berjualan di lahan mereka masing-masing dengan lapak-lapak seadanya dengan memanfaatkan bagian lapak yang masih tersisa dari aksi pembongkaran. Menurut Darmawati seperti yang dilansir Harian Fajar 4 September, para pedagang bertahan di los mereka yang jumlahnya ada sekitar 40 los, karena ganti rugi yang disodorkan tidak memadai, hanya Rp5 juta per los, sementara para pedagang membayar uang muka los Rp7 juta dan mencicil Rp1,5 juta per bulan. Perjanjian dengan pihak investor, PT Prabu Sejati pedagang bisa menempati los ini hingga 2017. “Tapi baru tiga tahun, kami malah digusur. Penggusuran pun tanpa komunikasi dengan kami” keluh Darmawati. Kini, setiap hari saat saya lewat di dekat jejeran los para pedagang itu, saya menemui wajah-wajah penuh kecemasan, dan juga tentu saja saya terus mendengar berbagai rumor yang berkembang seputar pembangunan ruko di pasar itu. (p!) *Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id sumber : http://panyingkul.com |
Pengakuan Jujur Tentang Buku Amaliyah Ramadhan
:: Muhammad Arief Al-Fikri :: |
Antri meminta tanda tangan ustas seusai ceramah salat tarwih. Foto: Lily Yulianti Farid. Salah satu pemandangan khas di mesjid selama bulan Ramadhan, adalah para pelajar yang sibuk mencatat ceramah tarwih, kemudian berebut meminta tanda tangan sang ustas, begitu ceramah usai. Mengisi buku Amaliyah Ramadhan mewarnai liburan anak-anak ini. Namun citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri memiliki pandangan lain mengenai kegiatan ini. Ia mencoba kritis dan jujur melihat aktivitas para pelajar mengisi buku Amaliyah Ramadhan. (p!) |
Ramadhan datang, liburan tiba. Inilah yang dialami para pelajar. Bagi para pelajar SD dan SMP yang menjalakan puasa, liburan harus diisi dengan mencatat kegiatan selama puasa melalui buku Amaliyah Ramadhan. Ini adalah buku wajib yang dibagikan pihak sekolah sebelum libur Ramadhan. Selain dimaksudkan sebagai jurnal kegiatan harian para siswa selama Ramadhan, buku ini juga sekaligus berfungsi sebagai “mata-mata” guru dalam memantau keseharian murid mereka selama berpuasa. Sudah merupakan rahasia umum memang, bahwa buku Amaliyah Ramadhan bertujuan agar para pelajar bisa terkontrol beribadah secara rutin, rajin, dan baik selama bulan Ramadhan. Lembar-lembar buku ini berisi tabel daftar kegiatan para pelajar dalam sehari yang diformat dalam susunan kolom-baris; ada kolom waktu yang menyatakan lamanya si pelajar melakukan suatu kegiatan; kolom hari/ tanggal yang menunjukkan nama harinya; kolom jenis kegiatan untuk menuliskan nama kegiatannya; kolom keterangan dan kolom paraf/ tanda tangan pelajar sendiri atau orang tua. Namun menurut saya, nampaknya cenderung ada kesan memaksa dalam konsep pengisian buku Amaliyah Ramadhan tersebut. Apalagi jika para pelajar sudah diwanti-wanti terlebih dahulu oleh guru mereka, sebelum buku tersebut dibagikan. Ada guru yang dengan tegas berkata, bahwa barang siapa yang tidak mengisi satu halaman saja atau bahkan semuanya, niscaya nilai pelajaran agamanya dikurangi. “Nilai pelajaran agama” ini yang menjadi momok. Tak ayal, tidak sedikit pelajar yang memanipulasi laporannya di halaman demi halaman buku Amaliyah Ramadhan mereka. Tentu, demi mengejar target nilai yang memuaskan. Seperti pengalaman saya sendiri. Jujur saja, saya adalah “pengarang handal” dalam mengisi buku Amaliyah Ramadhan. Alasannya, saya tidak mau pusing, malas, merasa terbebani, dan bahkan merasa dizalimi. Sejak SD hingga SMP, setiap menjelang Ramadhan, di sekolah saya selalu dibagikan buku Amaliyah Ramadhan. Namun entah kenapa, saya selalu berkecut hati setiap kali menerima buku ini. Mungkin karena saya merasa ada sesuatu yang membuntuti, mengawasi saya beraktivitas di bulan puasa, atau mungkin juga karena saya memang tidak nyaman dan memang malas dari sononya. Tapi urusan isi-mengisi, sayalah pengarang yang handal, namun tak pantas dicontoh. Saya selalu saja membual, namun dengan bualan yang masuk akal tentunya, supaya tidak mencuatkan masalah dengan guru-guru nantinya. Sewaktu kelas 6 SD, saya selalu membawa serta pena dan buku Amaliyah Ramadhan, selain sajadah dan kopiah, tiap kali ke mesjid untuk salat isya dan tarwih berjamaah bersama adik-adik saya. Saya harus ke mesjid demi untuk mengisi kolom baris tiap halaman buku tersebut. Saya harus menuliskan nama hari dan tanggal, nama mesjid, nama penceramah, serta judul ceramahnya. Namun karena hampir setiap penceramah di mesjid dekat rumah saya tidak menyebutkan judul ceramah yang dibawakannya, maka kolom “judul ceramah” saya isi saja sesuai dengan apa yang dibahas oleh sang ustas. Jika sang ustas membahas mengenai 5 keistimewaan Ramadhan, saya pun memberinya judul seenaknya dengan “Keistimewaan Bulan Ramadhan” lalu saya pulang meminta orang tua saya memberi paraf. Alhasil, nilai agama di rapor cukup menggirangkan, sebab saya bisa menuntaskan pengisiannya, meskipun jujur saja, laporan saya itu selalu bersifat spekulatif. Lembaran buku Amaliyah Ramadhan yang terisi penuh. Foto: Muhammad Arief Al-Fikri. Dan sewaktu saya nyantri di Pondok Modern (PM) Darussalam Gontor 1, Ponorogo, Jawa Timur, para santri juga dibagikan buku Amaliyah Ramadhan sebelum libur Ramadhan tiba. Buku Amaliyah yang satu ini lebih “menyusahkan” lagi sebab kita harus mengisi setiap kolom-baris secara detail mengenai jenis kegiatan apa yang dilakukan, hari apa dan jam berapa, di mana tempatnya, serta keterangan dan paraf tentunya. Hal ini semakin membuat saya malas mengisi buku tersebut, sebab merasa capek (meskipun belum dilakukan). Bayangkan, saya harus mengisinya setiap setengah jam, satu jam, dua jam, atau pun setelah berjam-jam, sesuai dengan lamanya suatu kegiatan itu dilakukan, dalam sehari. Oleh karena itu, ada banyak kolom dan baris yang kosong yang biasanya membuat saya “jungkir balik” berbohong mengisinya sebelum diserahkan kepada guru. Setelah mengadakan wawancara dengan sejumlah pelajar di Makassar, ternyata saya mendapat “teman:, artinya ada “pengarang jagoan” lainnya yang saya temui. Salah seorang sepupu saya misalnya, Yud (19). Gadis berkerudung ini mengatakan bahwa buku Amaliyah ramadhan yang biasa dijumpainya sewaktu masih SD dan SMP, sangatlah tidak penting. Pasalnya, diisi ataupun tidak tetap saja nilai agamanya di rapor cukup memuaskan, padahal sebelumnya gurunya telah melayangkan ancaman akan dikurangi nilainya bagi yang tidak mengisi. Ia juga mengakui bahwa ia sering membual mengisi lembaran-lembaran buku Amaliyah Ramadhan miliknya. “Kalau saya dengarki ustasnya ada kata surga dan neraka dalam ceramahnya, ya saya tulis saja judulnya ‘Surga dan Neraka’”, ucapnya. Lain lagi dengan Daus (11). Siswa kelas 6 B SD Negeri Sudirman IV ini mengaku tidak terlalu suka dengan buku Amaliyah Ramadhan. “Soalnya banyak yang harus dihapal. Selain itu, kita juga harus menuliskan apa saja kegiatan kita dalam sehari selama Ramadhan, misalnya tadarrusan, dan seterunsya, ”ujarnya. Berdasarkan informasinya, guru-gurunya mengharuskan setiap pelajar membeli buku Amaliah Ramadhan untuk dilaporkan ke Walikota Makassar. Berbeda halnya dengan pendapat Yud, dan Daus; Rani, siswi SMAN 1 Makassar menilai buku Amaliyah Ramadhan memotivasi para pelajar untuk rajin beribadah. Menurutnya, jika seorang siswa sudah mengisi buku tersebut, berarti ia telah peduli terhadap agama. Namun sewaktu saya melemparkan pertanyaan dalam sebuah perbincangan santai, “Terus bagaimana jika siswa tersebut berbohong mengisi buku tersebut karena merasa terpaksa?” Rani menjawab,”Mmm...gimana ya...” Tentu banyak pelajar yang bersemangat dan selalu berlomba-lomba mengisi buku Amaliyah Ramadhan. Tentu ada yang merasakan manfaatnya, tapi tentu juga ada yang mengkritisi dan mempertanyakannya, termasuk saya. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah para pelajar juga bakal rajin ke mesjid seandainya tidak ada kewajiban mengisi buku Amaliyah Ramadhan? Mungkin perlu dipikirkan cara yang lebih cerdas dan kreatif menumbuhkan gairah belajar agama di kalangan anak muda, bukan sekadar mengajari mereka rutin memburu tandatangan ustas di mesjid. Masalahnya, kalau banyak yang jadi “pengarang handal” seperti yang saya, bukankah tujuan meningkatkan nilai ibadah secara sungguh-sungguh, tidak tercapai? (p!) *Citizen reporter Muhammad Arief Al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id sumber : http://panyingkul.com |
SMS "Sayang" dan "Asmara"
:: M. Arief Al-Fikri :: |
Berita Pilkada Sulsel yang kian gencar. Foto: Repro Harian Tribun Timur/M. Arief Al-Fikri. Masihkah ada ruang publik, media dan saluran komunikasi yang tidak dimanfaatkan tiga pasang kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada Sulsel tanggal 5 November mendatang? Jawabannya sudah pasti: tidak. Kampanye Pilkada sudah seperti udara, ada di mana-mana, masuk ke paru-paru, terserap oleh kulit, disadari atau tidak. Pesan yang terus terang atau terselubung hadir di televisi, radio dan surat kabar, setiap hari, setiap menit. Bahkan selama bulan Ramadan, siaran berbuka puasa pun digempur “pesan sponsor”. Citizen reporter M. Arief Al-Fikri siswa SMAN 1 Makassar membagi hasil pengamatannya terhadap pesan pendek SMS dan berita Pilkada yang ditayangkan sebuah koran lokal di Makassar. Berikut ulasan sederhananya. (p!) |
“Jangan ketinggalan info-info terbaru Pilkada Sulsel. Kirim SMS ke 9858.... Demikianlah penggalan keterangan yang tertulis dalam rubrik SMS Pilkada yang ditayangkan Harian Tribun Timur, koran yang populer dengan slogan; Spirit Baru Makassar. Harian yang sudah mengklaim diri sebagai pemimpin pasar di Makassar sejak kehadirannya tiga tahun lalu, memang gencar memberitakan segala sesuatu yang terkait Pilkada Sulsel untuk memilih gubernur dan wakil gubernur baru bulan November mendatang. Para pembaca setiap harinya bisa menemui instruksi mengikuti berita Pilkada melalui SMS ini di rubrik politik Tribun Timur. Informasi tersebut menempati posisi header halaman. Petunjuk praktis ini seakan menjadi penyambut para pembaca sebelum membaca berita lainnya. Saya tertarik mengamati layanan berita Pilkada via SMS ini karena membayangkan bahwa pengelola media ini telah menempatkan berita Pilkada sebagai berita yang sangat ditunggu pembaca jauh hari sebelum hari “H”, dan untuk mendapatkan updating berita, tidak perlu menunggu hari esok, tapi cukup mengirim SMS saja. Selain itu, ada pula SMS Pilkada yang bersifat interaktif, di mana pembaca yang mengirimkan SMS untuk menyatakan dukungan. Caranya, pembaca tinggal mengirim SMS baik berupa dukungan, informasi acara, posko, kegiatan, saran, kritik, dan laporan dinamika Pilkada di daerah masing-masing. Hanya dengan mengetik POL Berikut ini sejumlah contoh SMS yang dimuat: “KUDUKUNG ki SAYANG, hanya SAYANG yg memikat nuraniku untk saya sayang dan kupilih, untk warga Sulsel, pastikan SAYANG yg Pasti” “AMIN/Mansyur meskipun udah Tua masih saja terlibat Asmara…tapi kita harus tetap “SAYANG” krn kita ingin BERUBAH UNTUK SEJAHTERA. BANTUKA’ BOSS!!! “MAJU ASMARA kritik yg jujur trkadang mrupkn pujian yg trsmbuxi. satu mushku trLLu bnyk, seribu tmnku trLLu sdkit, memilih pemimpin hrs pntr2. Cagub yg trLLu mau akan fatal akibatxa (by Syafar in limbung tmcinna)” “APAPUN yg terjadi pilihan kami tetap SYL, bahkan nyawa taruhanx pilihan kami tetap SYL. Hidup SYL, trims IR, keluarga besar Bonerate, kab. Selayar Bagi warga Sulel, istilah yang lahir untuk kepentingan Pilkada, seperti SAYANG (Syahrul Yasin Limpo- Agus Arifin Nu’mang), ASMARA (Amin Syam-Mansyur Ramly) dan SYL (Syahrul Yasin Limpo) menjadi kata-kata yang mudah ditemui di mana saja. Dari pengamatan yang saya lakukan selama sepekan pada akhir bulan Agustus 2007, dari rubrik SMS Pilkada harian Tribun Timur, rata-rata bunyi SMS yang ditayangkan berupa dukungan dan sindiran kepada para kandidat yang bertarung. SMS yang dimunculkan nyaris tanpa kritikan, keluhan, ataupun yang lainnya oleh para pembaca terhadap para kandidat. Padahal telah tertulis bahwa pembaca dapat mengirimkan pesan dalam bentuk dukungan maupun kritikan, Mengapa tidak kritikan? Penyebabnya bisa saja karena memang tidak ada pembaca yang mengirimkan kritikan, atau mungkin saja pihak redaksi koran tersebut memiliki kebijakan ketat dalam penayangan kritik, sebab di bagian bawah rubrik SMS Pilkada terpasang keterangan: Mohon maaf kami tidak menerima SMS yang menyerang kehormatan pribadi. Meskipun ada dua SMS yang mengandung kritikan, namun tetap saja ujung-ujungnya berbunyi dukungan. Berikut kutipannya: “DI DESA kmi sama skali tdk ada pmbngunan dari dana pmbangunan Desa sbnyk 50 juta, yg ada cuma pembangunan rumah kep Desa, Demi ALLAH kmi rakyat Desa Tellu Boccoe kec Ponre kab Bone akan mmilih bpk Aziz-Mubil krn niat bpk mmbrantas korupsi. Insya Allah kmi akan mendukung niat baik bpk wassalam.” Atau yang ini: “BUAT Elit GOLKAR,”Jangan Marah dimuara” dan “Berhentilah Mengaduk Samudra” tetapi “Railah Tanganku, Kuraih Tanganmu” itulah harapan semua orang, jngn kwatir Boss tdk ada tangan kuraih selain tangannya SYAHRUL, EWAKO cappo. BONE kue.” Sebagai pembaca, tentu terbetik pertanyaan bagaimana SMS Pilkada ini bisa dilihat sebagai cerminan dukungan rill yang diperoleh setiap pasangan di tengah masyarakat. Berapa banyak jumlah SMS yang masuk untuk setiap pasangan dan bagaimana proses seleksi yang dilakukan redaksi terhadap SMS dukungan dan kritikan yang ditampilkan, tentu bisa didiskusikan lebih jauh. Sebagai pelajar, gencarnya SMS Pilkada membuat saya ingat kontes Indonesian Idol atau Kontes Dangdut Indonesia, yang pemenangnya memang dipilih berdasarkan banyaknya SMS. Memilih gubernur dan wakil gubernur tentu tidak sama dengan memilih idola bermodal SMS terbanyak. Berita Pencitraan Saya juga membaca hampir semua berita Pilkada Sulsel di harian yang sama, selama periode terakhir bulan Agustus. Meski ini bukanlah penelitian ilmiah, melainkah hanya sebuah review sederhana, dengan mudah saya menemukan berita-berita yang dari judulnya saya nilai sebagai berita peristiwa, tapi ternyata memuat pernyataan dukungan bagi calon tertentu. Berita-berita Pilkada memang gencar, Topik-topik beritanya, kebanyakan mengabarkan kegiatan para kandidat Pilkada dan konflik antara sesama elit politik. Selain itu, ada juga ulasan aspirasi rakyat biasa yang rata-rata dari mahasiswa, dosen, direktur, dan kalangan well-educated lainnya. Pada bagian yang berisikan kritikan, pernyataan, usulan, dan aspirasi lainnnya tersebut, hanya memenuhi kurang lebih 10 % dari seluruh komposisi halaman, dikalahkan oleh berita kegiatan ceramah para kandidat di berbagai forum, kunjungan mereka ke daerah-daerah, dan konflik antara sesama elit pilkada yang nampaknya merupakan langganan rubrik politik setiap harinya dengan cara penyajian berita yang tak jauh beda dengan kabar para selebritis di infotainment. Simak misalnya pertarungan soal “warna kuning”. Pada berita berjudul “Arfandy: Soal Kuning, Agus Tak Beritikad Baik”. Dijelaskan bahwa sekretaris DPD I Golkar Sulsel Arfandy Idris menilai Agus Arifin Nu’mang tidak beritikad baik, pasalnya tidak mematuhi ketentuan Golkar dalam menggunakan atribut yang identik dengan warna kuning. Elit Golkar kembali menyorot Agus lantaran munculnya iklan Agus di salah satu stasiun tv nasional dengan jaket kuning. Namun, saat dikonfirmasi secara terpisah, Agus enggan menanggapi banyak tudingan Arfandy. Ia merasa tidak pernah menggunakan atribut partai untuk mempengaruhi pemilih. “…….Kan tidak semua baju kuning adalah atribut Golkar, ”ujarnya. Ia lebih memilih fokus pada strategi pemenangan. Setelah membaca ini, saya pun teringat dengan kasus grup band papan atas Dewa 19 yang sempat heboh di berbagai media beberapa tahun lalu terkait lambang Laskar Cinta-nya yang dituding meremehkan nama Allah SWT. Intinya, persoalan beda persepsi yang dibesar-besarkan. Berita serupa juga saya temui pada judul “Panwas-KPU Bersitegang Soal Berkas Kandidat”. Pada berita dengan judul paling besar dari yang lainnya ini, sebagai pembuka berita, dipasang foto Dr. Juajir Sumardi (Ketua Panwas Pilkada) dan foto Andi Mappinawang (Ketua KPU Sulsel) di bawahnya beserta pernyataan masing-masing mengenai legalitas penyerahan berkas kandidat. Dituliskan bahwa KPU bersikukuh tidak akan menyerahkan berkas pencalonan ke panwas, sedangkan panwas meminta KPU tidak menghalang-halangi pekerjaan mereka. Namun, alasannya KPU tidak menyerahkan berkas tersebut kendati KPU tidak berkewajiban memberikannya ke panwas. Selain dua berita di atas, masih ada beberapa berita konflik lainnya yang saya temui. Dan yang tidak kalah “spektakulernya”, adalah jenis berita yang saya sebut dengan “berita pencitraan”. Dua di antaranya melalui ulasan buku karya Syahrul Yasin Limpo : Ambil Tanganku, Kuambil Tanganmu, dan buku : Prof. Dr. H. Mansyur Ramly For Vice Governor, karya M. Saleh Mude. Dalam “Membaca Kearifan Kepemimpinan” yang merupakan judul ulasan buku karya Syahrul Yasin Limpo, dijelaskan panjang lebar 22 paragraf mengenai pemikiran kearifan kepemimpinan seorang Syahrul Yasin Limpo. Kalimat-kalimat dalam tulisan tersebut antara lain berbunyi, “…buku ini hadir sebagai cerminan kepekaaan dalam mengamati apa yang berkembang di masyarakat; dapat diduga, Syahrul mengail inspirasi dari laku sufi Dato Patimang lalu mengukuhkan pandangan dan sikapnya tentang kepemimpinan dan pemerintahan; serta filosofi “ambil tanganku” sebagai sikap terbuka, sangat relevan di era modern dimana sinergi unsur pembentuk ikatan sosial, proses interaksi dalam organisasi, pola manajemen, inovasi dan kreativitas permanen adalah keterbukaan,” Penjelasan ini semakin memperkuat “citra” seorang Syahrul Yasin Limpo sekaligus semakin memperkuat pesan untuk memilihnya di Pilkada. Sedangkan pada ulasan resensi buku Prof. Dr. H. Mansyur Ramly For Vice Governor, bentuk pencitraannya melalui pernyataan-pernyataan “orang-orang yang tidak biasa”. Misalnya, “Mansyur Ramly telah menunjukkan prestasinya yang mengagumkan dalam dua bidang; ilmiah dan birokrasi”ujar Prof. Dr. HM. Quraish Shihab, ahli tafsir Al-Qur’an, dan,“Mansyur Ramly termasuk figur yang dapat mengkombinasikan institusi akademi, birokrasi, organisasi, dan insting politik. Sebuah subjek yang dapat mensejahterakan rakyat Sulsel” kata M. Jafar Hafsah, elit DPD Partai Demokrat. Hebat nian pencitraannya. Ada juga satu berita yang membuat saya sedikit tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala setelah membacanya, yaitu berita berjudul “Mubyl Ceramah di HMI” yang terdiri dari 3 paragraf. Paragraf pertama dan kedua menjelaskan tentang kandidat wakil gubernur Mubyl Handalig, pasangan Azis Kahar yang berceramah dalam acara Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Menurut Ketua Bidang Hukum dan HAM Badko HMI Sulselrabar M. Aries Yasin, kehadiran Mubyl dalam acara yang digelar oleh PB HMI dengan Komisi Yudisial tersebut, dalam kapasitas Mubyl sebagai Ketua Korps Alumni HMI (KAHMI) Sulsel. Namun di akhir paragraf ditulis, ”Secara kelembagaan HMI memang tidak mendukung Pak Mubyl. Tapi secara emosional, semua kader tentu akan condong kepada beliau”ujar Aries. Inilah yang membuat senyum saya merekah. “Oh, berita dukungan ternyata…” Demikianlah contoh berita beserta komposisinya dalam rubrik politik harian Tribun Timur yang saya amati dalam sepekan. Ini tentu pengamatan sederhana saja, sebagai pembaca koran. Saya pun menyimpulkan, nyaris tidak ada berita yang “mencerahkan” para pembaca, yang mendominasi adalah apa yang saya istilahkan “berita obat bius” yang mengutip omongan dan janji para kandidat dan fanatisme pendukung mereka. Sekali lagi, ini ulasan pribadi saya, seorang pelajar yang setiap pagi membaca koran yang gencar mengabarkan Pilkada, seorang warga yang tidak luput dari kampanye ketiga kandidat di semua ruang publik, di semua media dan saluran komunikasi. (p!) *Citizen reporter M. Arief Al-Fikri dapat dihubungi melalui email fick_ree@yahoo.co.id sumber : http://panyingkul.com |
Sang Juara Lomba APBN tingkat Nasional
Mutiara Hapsari, sang Jawara Lomba Artikel APBN Tingkat Nasional 2008. Siswi kelas XII IPA 5 SMAN 1 Makassar ini mengaku gak sempat belajar Kimia loh gara-gara persiapan tersebut. "Wah, stres banget! Setiap waktu yang saya pelajari materi-materi lomba APBN, padahal saat itu bakal ada ujian Kimia lagi," ujarnya.Namun dengan persiapan hanya satu minggu dan berkat dukungan plus bantuan dari sang ayah, semuanya bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.Selama berlomba di Jakarta ada banyak pengalaman seru yang didapatkan keempat anak muda berprestasi ini. Sebelum bertanding dengan tim dari delapan kota lainnya, ternyata utusan Kota Makassar merupakan salah satu peserta yang diunggulkan setelah Pekanbaru."Kami gak terlalu nervous, karena kita merasa pergi bertanding dengan persiapan yang lebih dari cukup. Bahkan waktu di sana ternyata banyak juga yang mnejagokan tim kita," cerita Azhar yang diamini oleh kedua temannya.Doa dan support menjadi kunci keberhasilan bagi mereka. Tetesan air yang tak terbendungkan dan perasaan haru bercampur bangga sempat menyelimuti mereka saat malam penobatan waktu itu. "Awalnya kita hanya bertarget juara III, eh malah dapat juara I. Alhamdulillah banget," .Mutiara pun sangat bersyukur karena selama lomba berlangsung dirinya sedang sakit sariawan. Bahkan sempat harus menahan sakit berbicara saat presentasi di hadapan dewan juri. "Alhamdulillah semua berkat Allah SWT," tandasnya.setelah sukses mengantarkan Mutiara Hapsari dari SMAN 1 Makassar sebagai juara satu lomba menulis artikel dan Azhar Lagarenna cs dari SMAN 5 sebagai juara satu lomba debat tingkat nasional pada Lomba Membaca APBN 2008 tingkat SMA, tahun ini Fajar bekerjasama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, kembali menggelar penyisihan Lomba Membaca APBN 2009.
Selasa, 24 Maret, digelar technical meeting di Lantai 4 Fajar Graha Pena. Hadir panitia pusat yang juga Ketua SPS Pusat Asmono Wikan yang menjelaskan bagaimana tekhnis lomba. Menurut Asmono, lomba tersebut bertujuan meningkatkan minat membaca generasi muda. Selain itu diharapkan para generasi muda itu memiliki kesadaran, pengetahuan dan pikiran kritis mencermati isi APBN tersebut.
Ketua Panitia Lokal Makassar, Irwan Zainuddin mengungkapkan, kegiatan penyisihan untuk wilayah Makassar, akan digelar 1 Mei mendatang. Jika tahun lalu pesertanya hanya dari lingkup Kota Makassar, kali ini kata Irwan, pesertanya juga berasal dari luar kota seperti, Palopo, Barru, Parepare, serta Sinjai.
Peserta yang terdaftar kata Irwan sudah 45 sekolah. Sekolah yang menang dalam penyisihan tersebut, akan mewakili Sulsel ke tingkat nasional yang rencana digelar Juni 2009.
Dalam technical meeting, Asmono Wikan menjelaskan, ada lima tema yang disiapkan dalam lomba membaca APBN tersebut, yakni, anggaran pendidikan di APBN, subsidi BBM di APBN, komposisi pembiayaan di APBN, reformasi birokrasi Departemen Keuangan, dan upaya menggenjot pajak di APBN. Peserta bebas memilih salah satu tema tersebut.
Menurut Asmono, untuk lomba artikel, judul bebas sesuai tema, jarak 1,5 spasi, minimal 3 halaman di luar halaman biodata dan daftar pustaka, menggunakan font Times New Roman ukuran 12, dan dikirim via email ke olimpiadeapbn@spsindonesia.or.id dan olimpiadeapbn@yahoo.com.
"Kami tidak menerima naskah yang dikirim melalui surat, harus melalui email dan paling lambat diterima 28 April," ujar Asmono.
Sementara untuk lomba debat, tema ditentukan moderator. Dalam lomba debat kali ini, panitia memberlakukan sistem peringkat atau rangking. "Dalam penyisihan, kita akan ambil sepuluh besar, jadi tidak menutup kemungkinan ada lebih dari satu peserta yang bisa mewakili satu daerah," ujar Asmono.
dikutip dari : http://sman1mks.sch.id/html/index.php?id=berita&kode=8